Juli 02, 2018

Kisah dari Bo’a : Bo’a yang Ramah


Rabu, 27 Juni 2018
Subuh menjelang beberapa dari kami mulai bergegas menuju sumur yang terletak didepan posko kami untuk mengambil air wudhu dan menunaikan ibadah Sholat Subuh. Intrusi air laut disini hal yang wajar rasaku, sebab beberapa air sumur masyarakat rasanya payau. Curah hujan di Rote pun cukup rendah, untuk kebutuhan makan dan minum beberapa masyarakat mengandalkan air PAM yang dibeli.

Seusai sholat subuh, kami bersiap untuk mempersiapkan program kerja kami yang akan kami laksanakan keesokan harinya dan esok lusa. Tim lingkungan pukul tujuh pagi sudah mulai bergegas bersama-sama menuju sebuah padang rumput yang terhampar tak jauh dari posko dan pantai Bo’a. Sesampainya disana kami mulai memunguti kotoran-kotoran ternak yang berceceran. Kotoran-kotoran ini nantinya akan kami gunakan untuk membuat kompos cair dan padat. Kotoran-kotoran hewan disini cepat sekali keringnya, mungkin pengaruh hari yang begitu panas, langit juga biru sehingga terik matahari tak pernah terhalangi untuk mencumbu padang.

Matahari semakin meninggi, kotoran yang kami kumpulkan sudah kami rasa cukup untuk melakukan praktik pembuatan kompos esok lusa. Kami beristirahat sejenak dan berjalan menuju pantai, mengagumi biru dan dinginnya air laut. Setelah kami puas memanjakan mata, kami bergegas kembali mengambil karung-karung berisi kotoran dan membawanya ke balai desa. Letak balai desa dari tempat kami berada sekitar dua kilo meter, dan kami tidak memiliki kendaraan untuk menuju kesana. Ya, tentu saja kami jalan kaki kesana.

Belum sampai setengah jalan, kami tergiur untuk mampir ke rumah bapak dusun Oe Mae yang memiliki toko kelontong di rumahnya. Kami membeli air dingin juga membeli mie instan untuk selanjutnya kami masak bersama-sama. Mie instan matang, dan kami memakannya bersama-sama dalam satu wajan. Ini menyenangkan sekali menurutku, berbagi bersama dengan orang-orang baru. Dan saat itu aku merasa, persahabatan kita akan dimulai dari sini.

Setelah perut terisi dan lelah berkurang,kami kembali berjalan menuju balai desa. Selama perjalanan kami terus bercanda untuk mengelabuhi jauhnya jarak. Kami juga sering memanggili hewan ternak, babi tepatnya hahaha. Sesampainya dibalai desa kami meletakkan kotoran hewan di depan balai desa dan berdiskusi tentang pemakaian kompos dan permasalahan pertanian di Bo’a. Hasil diskusi siang itu membuahkan hasil, dan perangkat desa mengajak kami ke kebun ubi sore harinya.

Sembari menunggu sore datang, kami bermain ke Gereja yang kebetulan disana sedang berjalan program kerja dari divisi Kesehatan. Kami berada disana sampai jam makan siang. Setelah itu kami menuju kerumah bapak BPD yang berada di samping gereja, hanya terpisah sebuah lapangan dan halaman luas rumah bapak BPD.  Kami banyak berbincang-bincang disana, dengan bapak BPD dengan keluarganya, dan juga dengan bapak pendeta. Kalian tau Andmesh Kamaleng si jawara Rising Star Indonesia? Dia adalah anak kandung dari bapak BPD. Oh iya kami disana juga diajari makan sirih pinang khas Rote. Pinang disini berbeda dengan pinang yang berada di Sumba dulu. Pinangnya sudah kering, bukan berupa buah pinang segar. Jadi kuputuskan untuk mencoba, begitupun dengan teman-teman lingkungan yang lainnya.

Cara memakan sirih pinang yaitu kunyah dulu dua keping pinang kering ludah yang keluar tidak boleh tertelan karna memabukkan, rasa pinang begitu sepat menyeruak dan ah tidak bisa di jelaskan hahaha. Jangan dulu ditelan, setelah sepatnya hilang, potong sirih menjadi beberapa bagian kecil lalu celupkan kedalam kapur dan kunyah bersama dengan pinang tadi, tidak lama kemudian ludah akan berwarna merah. Setelah itu baru seluruhnya dapat ditelan. Keluarga bapak BPD sangat menerima kedatangan kami, beberapa menertawai kami yang baru pertama kali mengunyah sirih pinang. Setelah itu kami melanjutkan candaan kami hingga tak terasa sudah pukul 15.00 WITA dan truk bapak kepala  desa, bapak Mersi datang bersama fasilitator kami Kak Acha dan Kak Putra untuk menjemput kami.

Kami bersama-sama menuju kebun ubi yang berjarak sekitar satu kilometer dari rumah bapak BPD. Sesampainya dikebun ubi, kami mengamati tekstur tanah dan juga cara berkebun masyarakat Bo’a. Setelah kami mengetahui permasalahan pertanian kami diajak ke kebun ubi dengan masa tanam tiga bulan, yang artinya juga sudah dapat dipanen. Disana kami mengamati memang benar ubi di Bo’a terhitung berukuran kecil beberapa seukuran jahe ada juga yang seukuran wortel.

Setelah kami mendapatkan data-data, bapak petani menganjurkan kami untuk memanen sebagian ubi dan membakarnya. Tentu saja tidak kami tolak, kami memanen ubi dan kemudian membakarnya disana. Beberapa teman-teman kami mengambil kelapa dan membukanya sebagai minum kami. Air kelapa di Rote khas sekali, rasanya seperti ada sodanya. Menyenangkan sekali sore itu, ubi bakar manis yang masih hangat air kelapa lezat dan candaan-candaan. Sore paling baik yang pernah aku lalui.

Seselesainya kami bercanda dan menikmati hasil panen, bapak desa mengantarkan kami ke Pantai Bo’a untuk membersihkan badan yang sudah lengket. Cerita lucu disini adalah setelah kami memasuki wilayah pantai tiba-tiba bapak Mersi berkata “Stop dulu, itu ada tiang bendera. Harus hormat kalau lewat” sontak beberapa dari kami yang tidak menyadari bahwa itu sebuah lelucon langsung saja hormat termasuk aku. Aku takut menyalahi adat istiadat waktu itu hahaha. Rupanya Bapak Mersi melanjutkan “tidak tidak sudah,hanya bercanda” hahahahaha  

Cerita menyenangkan hari ini ditutup dengan indahnya senja di Pantai Bo’a. Jingga biru hijau dan kelabu berbaur menjadi satu. Damai.
0

0 komentar :

Posting Komentar