Rabu, 27 Juni 2018
Subuh
menjelang beberapa dari kami mulai bergegas menuju sumur yang terletak didepan
posko kami untuk mengambil air wudhu dan menunaikan ibadah Sholat Subuh. Intrusi
air laut disini hal yang wajar rasaku, sebab beberapa air sumur masyarakat rasanya
payau. Curah hujan di Rote pun cukup rendah, untuk kebutuhan makan dan minum
beberapa masyarakat mengandalkan air PAM yang dibeli.
Seusai
sholat subuh, kami bersiap untuk mempersiapkan program kerja kami yang akan
kami laksanakan keesokan harinya dan esok lusa. Tim lingkungan pukul tujuh pagi
sudah mulai bergegas bersama-sama menuju sebuah padang rumput yang terhampar
tak jauh dari posko dan pantai Bo’a. Sesampainya disana kami mulai memunguti
kotoran-kotoran ternak yang berceceran. Kotoran-kotoran ini nantinya akan kami
gunakan untuk membuat kompos cair dan padat. Kotoran-kotoran hewan disini cepat
sekali keringnya, mungkin pengaruh hari yang begitu panas, langit juga biru
sehingga terik matahari tak pernah terhalangi untuk mencumbu padang.
Matahari
semakin meninggi, kotoran yang kami kumpulkan sudah kami rasa cukup untuk
melakukan praktik pembuatan kompos esok lusa. Kami beristirahat sejenak dan
berjalan menuju pantai, mengagumi biru dan dinginnya air laut. Setelah kami
puas memanjakan mata, kami bergegas kembali mengambil karung-karung berisi kotoran
dan membawanya ke balai desa. Letak balai desa dari tempat kami berada sekitar
dua kilo meter, dan kami tidak memiliki kendaraan untuk menuju kesana. Ya,
tentu saja kami jalan kaki kesana.
Belum
sampai setengah jalan, kami tergiur untuk mampir ke rumah bapak dusun Oe Mae
yang memiliki toko kelontong di rumahnya. Kami membeli air dingin juga membeli
mie instan untuk selanjutnya kami masak bersama-sama. Mie instan matang, dan
kami memakannya bersama-sama dalam satu wajan. Ini menyenangkan sekali
menurutku, berbagi bersama dengan orang-orang baru. Dan saat itu aku merasa,
persahabatan kita akan dimulai dari sini.
Setelah
perut terisi dan lelah berkurang,kami kembali berjalan menuju balai desa.
Selama perjalanan kami terus bercanda untuk mengelabuhi jauhnya jarak. Kami
juga sering memanggili hewan ternak, babi tepatnya hahaha. Sesampainya dibalai
desa kami meletakkan kotoran hewan di depan balai desa dan berdiskusi tentang
pemakaian kompos dan permasalahan pertanian di Bo’a. Hasil diskusi siang itu
membuahkan hasil, dan perangkat desa mengajak kami ke kebun ubi sore harinya.
Sembari
menunggu sore datang, kami bermain ke Gereja yang kebetulan disana sedang
berjalan program kerja dari divisi Kesehatan. Kami berada disana sampai jam
makan siang. Setelah itu kami menuju kerumah bapak BPD yang berada di samping
gereja, hanya terpisah sebuah lapangan dan halaman luas rumah bapak BPD. Kami banyak berbincang-bincang disana, dengan
bapak BPD dengan keluarganya, dan juga dengan bapak pendeta. Kalian tau Andmesh
Kamaleng si jawara Rising Star Indonesia? Dia adalah anak kandung dari bapak
BPD. Oh iya kami disana juga diajari makan sirih pinang khas Rote. Pinang
disini berbeda dengan pinang yang berada di Sumba dulu. Pinangnya sudah kering,
bukan berupa buah pinang segar. Jadi kuputuskan untuk mencoba, begitupun dengan
teman-teman lingkungan yang lainnya.
Cara
memakan sirih pinang yaitu kunyah dulu dua keping pinang kering ludah yang
keluar tidak boleh tertelan karna memabukkan, rasa pinang begitu sepat menyeruak
dan ah tidak bisa di jelaskan hahaha. Jangan dulu ditelan, setelah sepatnya
hilang, potong sirih menjadi beberapa bagian kecil lalu celupkan kedalam kapur
dan kunyah bersama dengan pinang tadi, tidak lama kemudian ludah akan berwarna
merah. Setelah itu baru seluruhnya dapat ditelan. Keluarga bapak BPD sangat
menerima kedatangan kami, beberapa menertawai kami yang baru pertama kali mengunyah
sirih pinang. Setelah itu kami melanjutkan candaan kami hingga tak terasa sudah
pukul 15.00 WITA dan truk bapak kepala
desa, bapak Mersi datang bersama fasilitator kami Kak Acha dan Kak Putra
untuk menjemput kami.
Kami
bersama-sama menuju kebun ubi yang berjarak sekitar satu kilometer dari rumah
bapak BPD. Sesampainya dikebun ubi, kami mengamati tekstur tanah dan juga cara
berkebun masyarakat Bo’a. Setelah kami mengetahui permasalahan pertanian kami
diajak ke kebun ubi dengan masa tanam tiga bulan, yang artinya juga sudah dapat
dipanen. Disana kami mengamati memang benar ubi di Bo’a terhitung berukuran
kecil beberapa seukuran jahe ada juga yang seukuran wortel.
Setelah
kami mendapatkan data-data, bapak petani menganjurkan kami untuk memanen
sebagian ubi dan membakarnya. Tentu saja tidak kami tolak, kami memanen ubi dan
kemudian membakarnya disana. Beberapa teman-teman kami mengambil kelapa dan
membukanya sebagai minum kami. Air kelapa di Rote khas sekali, rasanya seperti
ada sodanya. Menyenangkan sekali sore itu, ubi bakar manis yang masih hangat
air kelapa lezat dan candaan-candaan. Sore paling baik yang pernah aku lalui.
Seselesainya
kami bercanda dan menikmati hasil panen, bapak desa mengantarkan kami ke Pantai
Bo’a untuk membersihkan badan yang sudah lengket. Cerita lucu disini adalah
setelah kami memasuki wilayah pantai tiba-tiba bapak Mersi berkata “Stop dulu,
itu ada tiang bendera. Harus hormat kalau lewat” sontak beberapa dari kami yang
tidak menyadari bahwa itu sebuah lelucon langsung saja hormat termasuk aku. Aku
takut menyalahi adat istiadat waktu itu hahaha. Rupanya Bapak Mersi melanjutkan
“tidak tidak sudah,hanya bercanda” hahahahaha
Cerita menyenangkan hari ini ditutup dengan
indahnya senja di Pantai Bo’a. Jingga biru hijau dan kelabu berbaur menjadi
satu. Damai.
0 komentar :
Posting Komentar