Selasa
24 April 2018,
Jam menunjukan pukul empat bagian
waktu Indonesia tengah ketika aku terbangun, tidurku sedikit kurang nyaman sebab
sudah lama tidak tidur dengan hanya beralaskan tikar dan sleeping bag. Aku
menengok waktu subuh, dan memutuskan untuk tidur lagi sejenak. Sekitar tiga
puluh menit kemudian aku terbangun lagi dan berniat untuk mengambil air wudhu,
beberapa kawan-kawanku sudah terlebih dahulu bangun dan berjalan menuju
puskesmas pembantu yang berjarak dua rumah untuk mengambil air wudhu atau
mandi. Di wilayah kami mengabdi, air memang susah ditemukan. Wilayahnya merupakan
bebatuan, sungai-sungai disekitarnya pun kering. Solusinya masih membeli air
dan dimasukkan kedalam tangki air. Beberapa masyarakat juga menyediakan
drum-drum disekitar rumahnya, harapan mereka jika hujan turun akan tertampung
dan menjadi persediaan air.
Mentari pagi menyapa, kami sudah
bersiap menggunakan kaos identitas untuk menjalankan agenda hari ini. Pukul
sembilan kami sudah diharapkan datang dibalai desa untuk perkenalan diri, serta
memaparkan program-program kerja yang akan kami laksanakan. Sembari menanti
kedatangan para perangkat desa, aku dan kawan-kawanku menyapa anak-anak SMP yang
sedang menanti ujian nasional. Letak sekolahnya juga sangat dekat dengan posko
kami, sehingga tidak ada kekhawatiran jika kami terlambat menghadiri agenda di
balai desa. Kami banyak bertukar cerita tentang tanah kelahiran juga cita-cita.
Tiga puluh menit berlalu, kami sudah
berada di dalam kantor balai desa. Kegiatan pertama berupa sambutan perangkat
desa, kemudian perkenalan antara kami dan para perangkat desa. Satu yang aku
amati, disini, kepala dusun, RT, dan RW selalu menggunakan pakaian adat dalam
kesehariannya, menggunakan ikat kepala, sarung kain daerah, dan parang
disematkan dipinggangnya. Menambah gagah serta karisma pengayom bagi masyarakat
sekitar. Setelah perkenalan selesai, kami melanjutkan pemaparan diskusi tentang
program kerja yang akan kami lakukan. Didalam tim kami, terdapat empat divisi
yaitu divisi pendidikan, divisi kesehatan, divisi ekonomi, serta divisi
lingkungan. Dan aku berada didalam divisi lingkungan, beberapa program yang
kami divisi lingkungan akan lakukan yaitu sekolah lingkungan dan bina desa.
Sore
hari selepas kegiatan juga survey pemetaan lapangan, kami didatangi oleh
adik-adik desa Weepangali ketika akan membeli minuman ringan didekat puskesmas
pembantu. Anak-anak yang paling aku ingat bernama Archen, Evelyn, Sarti, dan
Arlan. Mereka mengajak kami pergi menuju bukit Rangge, katanya hanya sekitar
lima belas menit untuk sampai disana dengan jalan kaki. Kami menurutinya,
sepanjang perjalanan menuju bukit Rangge aku begitu terpana dengan keasrian
desa ini, halamannya hijau-hijau, pohon kelapa menjulang dimana-mana, hewan
ternak berupa kuda,kerbau, kambing, dan babi di halaman menemani sore hari
pemilik rumah yang bersantai diteras, beberapa rumah adat masih kokoh berdiri
didesa ini, kata Mama Arsel, seorang ibu di desa ini yang ikut menemani kami
ditengah perjalanan menuju bukit, Rumah adat sumba itu terdiri dari tiga
tingkat. Tingkat pertama untuk hewan ternak, tingkat kedua untuk tempat
tinggal, dan tingkat ketiga atau tingkat teratas untuk menyimpan makanan.
Hari
semakin sore, kami mulai memasuki kawasan bukit. Jalannya mulai menanjak,
beberapa tanahnya berupa lumpur meski hampir sepanjang perjalanan yang aku
amati selalu tanah dan bebatuan, dikanan kiri jalan setapak tampak tanaman
jagung atau kacang hijau dan kacang merah. Kami banyak menghabiskan waktu
perjalanan dengan bercerita dengan anak-anak serta mama Arsel. Sesampainya
dipuncak salah satu bukit aku terkagum-kagum. Indah sekali karya Tuhan ini.
Bukit-bukit terhampar didepan mataku, warnanya hijau keemasan diterpa sinar
jingga. Kalau boleh kukatakan, untuk saat ini,ku nobatkan langit Sumba sebagai
rumah terbaik bagi senja. “Kakak, coba liat itu. Yang dibawah itu gereja,kami
biasa kesana. Dan dibelakangnya itu laut kakak. Kalau yang disebelah sana itu
bandara” kata Evelyn menunjuk kedua arah yang berbeda, membuatku semakin
takjub. Suara tawa anak-anak, dua orang
mama yang asik bercengkrama sembari mengunyah sirih pinang, senyum manis
penjuang yang merelakan pergi sejenak dari kehidupan kota, sinar emas yang
menerpa padang rumput dan gubuk-gubuk, angin yang mengiringi rerumputan
berdansa diatas punggung bukit rangge. Aku, rindu.
Malam
harinya, setelah melakukan evaluasi harian, setiap divisi melakukan persiapan
untuk program kerja esok harinya. Beberapa dari kami kemudian membakar sampah
didepan posko kami. Biar kukelabuhi ini sebagai api unggun. Diiringi oleh tawa kami
dan anak-anak desa juga alunan gitar musisi kebanggan kita dengan lagu-lagu
yang bergonta-ganti, Jadilah Legenda, Sahabat Kecil, Percuma Beta Susah di
Rantau, Sayang. Ah menyenangkan sekali
malam itu, ditambah lagi dengan bintang-bintang yang bertaburan sangat banyak
dan sinar bulan yang hampir purnama, terang sekali.
0 komentar :
Posting Komentar