Mei 05, 2018

Buah Tangan Dari Sumba : Bagian Dua


Selasa 24 April 2018,
            Jam menunjukan pukul empat bagian waktu Indonesia tengah ketika aku terbangun, tidurku sedikit kurang nyaman sebab sudah lama tidak tidur dengan hanya beralaskan tikar dan sleeping bag. Aku menengok waktu subuh, dan memutuskan untuk tidur lagi sejenak. Sekitar tiga puluh menit kemudian aku terbangun lagi dan berniat untuk mengambil air wudhu, beberapa kawan-kawanku sudah terlebih dahulu bangun dan berjalan menuju puskesmas pembantu yang berjarak dua rumah untuk mengambil air wudhu atau mandi. Di wilayah kami mengabdi, air memang susah ditemukan. Wilayahnya merupakan bebatuan, sungai-sungai disekitarnya pun kering. Solusinya masih membeli air dan dimasukkan kedalam tangki air. Beberapa masyarakat juga menyediakan drum-drum disekitar rumahnya, harapan mereka jika hujan turun akan tertampung dan menjadi persediaan air.

            Mentari pagi menyapa, kami sudah bersiap menggunakan kaos identitas untuk menjalankan agenda hari ini. Pukul sembilan kami sudah diharapkan datang dibalai desa untuk perkenalan diri, serta memaparkan program-program kerja yang akan kami laksanakan. Sembari menanti kedatangan para perangkat desa, aku dan kawan-kawanku menyapa anak-anak SMP yang sedang menanti ujian nasional. Letak sekolahnya juga sangat dekat dengan posko kami, sehingga tidak ada kekhawatiran jika kami terlambat menghadiri agenda di balai desa. Kami banyak bertukar cerita tentang tanah kelahiran juga cita-cita.

            Tiga puluh menit berlalu, kami sudah berada di dalam kantor balai desa. Kegiatan pertama berupa sambutan perangkat desa, kemudian perkenalan antara kami dan para perangkat desa. Satu yang aku amati, disini, kepala dusun, RT, dan RW selalu menggunakan pakaian adat dalam kesehariannya, menggunakan ikat kepala, sarung kain daerah, dan parang disematkan dipinggangnya. Menambah gagah serta karisma pengayom bagi masyarakat sekitar. Setelah perkenalan selesai, kami melanjutkan pemaparan diskusi tentang program kerja yang akan kami lakukan. Didalam tim kami, terdapat empat divisi yaitu divisi pendidikan, divisi kesehatan, divisi ekonomi, serta divisi lingkungan. Dan aku berada didalam divisi lingkungan, beberapa program yang kami divisi lingkungan akan lakukan yaitu sekolah lingkungan dan bina desa.

Sore hari selepas kegiatan juga survey pemetaan lapangan, kami didatangi oleh adik-adik desa Weepangali ketika akan membeli minuman ringan didekat puskesmas pembantu. Anak-anak yang paling aku ingat bernama Archen, Evelyn, Sarti, dan Arlan. Mereka mengajak kami pergi menuju bukit Rangge, katanya hanya sekitar lima belas menit untuk sampai disana dengan jalan kaki. Kami menurutinya, sepanjang perjalanan menuju bukit Rangge aku begitu terpana dengan keasrian desa ini, halamannya hijau-hijau, pohon kelapa menjulang dimana-mana, hewan ternak berupa kuda,kerbau, kambing, dan babi di halaman menemani sore hari pemilik rumah yang bersantai diteras, beberapa rumah adat masih kokoh berdiri didesa ini, kata Mama Arsel, seorang ibu di desa ini yang ikut menemani kami ditengah perjalanan menuju bukit, Rumah adat sumba itu terdiri dari tiga tingkat. Tingkat pertama untuk hewan ternak, tingkat kedua untuk tempat tinggal, dan tingkat ketiga atau tingkat teratas untuk menyimpan makanan.

Hari semakin sore, kami mulai memasuki kawasan bukit. Jalannya mulai menanjak, beberapa tanahnya berupa lumpur meski hampir sepanjang perjalanan yang aku amati selalu tanah dan bebatuan, dikanan kiri jalan setapak tampak tanaman jagung atau kacang hijau dan kacang merah. Kami banyak menghabiskan waktu perjalanan dengan bercerita dengan anak-anak serta mama Arsel. Sesampainya dipuncak salah satu bukit aku terkagum-kagum. Indah sekali karya Tuhan ini. Bukit-bukit terhampar didepan mataku, warnanya hijau keemasan diterpa sinar jingga. Kalau boleh kukatakan, untuk saat ini,ku nobatkan langit Sumba sebagai rumah terbaik bagi senja. “Kakak, coba liat itu. Yang dibawah itu gereja,kami biasa kesana. Dan dibelakangnya itu laut kakak. Kalau yang disebelah sana itu bandara” kata Evelyn menunjuk kedua arah yang berbeda, membuatku semakin takjub. Suara tawa anak-anak, dua orang mama yang asik bercengkrama sembari mengunyah sirih pinang, senyum manis penjuang yang merelakan pergi sejenak dari kehidupan kota, sinar emas yang menerpa padang rumput dan gubuk-gubuk, angin yang mengiringi rerumputan berdansa diatas punggung bukit rangge. Aku, rindu.

Malam harinya, setelah melakukan evaluasi harian, setiap divisi melakukan persiapan untuk program kerja esok harinya. Beberapa dari kami kemudian membakar sampah didepan posko kami. Biar kukelabuhi ini sebagai api unggun. Diiringi oleh tawa kami dan anak-anak desa juga alunan gitar musisi kebanggan kita dengan lagu-lagu yang bergonta-ganti, Jadilah Legenda, Sahabat Kecil, Percuma Beta Susah di Rantau, Sayang. Ah menyenangkan sekali malam itu, ditambah lagi dengan bintang-bintang yang bertaburan sangat banyak dan sinar bulan yang hampir purnama, terang sekali.

0

0 komentar :

Posting Komentar