Kamis
26 April 2018,
Pagi kami dimulai dengan menyelesaikan
tong sampah kami dan hiasan botol. Lem dimana-mana, aromanya sesekali membuat
kami pusing, ini sisi serunya. Kami juga saling bertukar cerita hingga banyak
tawa yang kami ciptakan. Hingga teman-teman divisi ekonomi memberi kode kepada
kami untuk mengisi pogram sekolah lingkungan berupa praktik membuat tote bag dari kaos bekas yang sudah kami
rencanakan semalam untu berkolaborasi antar dua divisi.
Pada program kerja ini, kami merasa
miris sedih dan geli akibat prediksi kami dua hari yang lalu terpampang nyata
dihadapan kami. Setelah kami melihat lokasi pengabdian kami dan menilik kaos
bekas yang kami miliki, kami sama-sama merasa baju bekas kami jauh lebih layak
dikatakan sebagai bekas ditempat ini. Dan benar saja, kejadian menggelikan
pertama terjadi kemarin di SD M Puu Uppo, seorang adik kecil meneriaki kami
ketika kami mempraktikkan pembuatan tas pengganti kantong plastik itu, katanya “Potong
terus kakak,potong saja terus itu baju bagus. Potong terus!” dengan lantang dan
dialek yang khas. Dan hari ini giliran mama Arsel yang buka suara katanya
begini,”Sudah anak, satu saja yang dijadikan contoh. Jangan lagi
dipotong-potong itu baju. Buat mama saja,mama bawa pulang” hahaha, astaga dan
kami tak mampu berkata apa-apa.
Setelah
agenda tersebut selesai,kami bergegas menuju rumah baca untuk mulai mengecat
hiasan bunga dan gurita yang sudah kami buat. Kami mengerjakan bersama dengan
adik-adik yang baru saja pulang dari sekolah. Seru sekali, antusias mereka
sangat tinggi. Beberapa meminta diajarkan untuk membuatnya. Dan yang lain lagi
sibuk mewarnai dan bercanda dengan kawan-kawannya yang lain. Hari itu aku
bertemu dengan seorang anak bernama Oncu,lucu sekali dia bisa menirukan suara
kucing yang sedang bertengkar dengan sangat mirip, ada juga Deo bocah kecil
yang pendiam, Nice yang mengatakanku sebagai orang kaya hanya karena memakai
jam tangan, dan sejak itu aku melepas jam
tanganku jika aku bermain keluar, juga Ilmi gadis cilik yang ingin jadi
suster yang setelah kami berkenalan kami selalu dekat.
Jumat
27 April 2018,
Pagi-pagi sekali kami yang sudah
bangun mulai menuju ke rumah baca. Kami menyelesaikan mengecat plang dan
membantu teman-teman divisi pendidikan mengecat rumah baca. Sebuah bangunan tua
yang tidak terpakai di sisi balai desa yang kami sulap menjadi perpustakaan
bagi adik-adik dan masyarakat disana. Semoga
terus menjadi gudang ilmu bagi kalian, saudaraku. Antusiasme anak-anak
disana semakin tinggi. Beberapa bahkan membawa sepedanya untuk di cat ulang.
Papa papa desa juga membantu kami mengecat rumah baca dan membuatkan pintu dan
jendela.
Disisi
lain kawan-kawan kami yang sudah selesai melakukan program kerja membantu para
mama mama desa untuk memasak. Perpisahan desa akan dilakukan sore nanti. Sedih
rasanya,kenapa cepat sekali.Pesta kecil-kecilan itu dilakukan dengan
menyembelih kambing paginya. Dan kini mama-mama desa dan salah satu koki hebat
kita sedang memasak didepan posko kami. Dengan tungku yang dibuat sendiri. Begitu
hangat melihat kebersamaan itu.
Sore
hari sudah datang, kami semua berkumpul di balai desa. Jika mengingat hari itu
kembali, aku begitu terharu dan sedih. Iya, suasana sore itu begitu emosional,
ditambah lagi hujan datang meski sebentar seperti mengantar kami menuju
perpisahan. Kata terimakasih maaf semua menimbulkan tetes tetes air mata.
Bahkan aku tak mampu berkata banyak saking sakitnya tenggorokanku menahan
tangis. Begitu banyak kebaikan yang diberikan oleh masyarakat Wee Pangali dan
kami masih hanya bisa memberikan hal yang sedikit. Dan disini kami hanya dapat
berdoa, semoga apa yang kami beri akan selalu membekas dan menjadi inspirasi
bagi masyarakat disana. Semoga membangunkan asa bukannya memutus mimpi. Sebab
apa yang kami beri, rasanya masih sedikit untuk menggantikan keramahtamahan Wee
Pangali. Setelah suasana haru itu, kami makan bersama dan melakukan pesta
perpisahan kecil-kecilan. Ada perlombaan menyanyi,menari, juga berpuisi.
Dan
yang paling menyedihkan adalah dua orang gadis kecil menghampiriku, yang satu
berkata”Setelah kakak pulang, kapan kakak ke Sumba lagi? Kakak Meita, jangan
lupakan Archen ya?” yang satunya lagi bernama Iky berkata “Kakak sudah, kakak
Meita jangan menangis. Kak, sudah jangan menangis ya. Tersenyum” katanya sambil
menggenggam tanganku. Aku terharu. Bagaimana aku tak boleh menangis gadis
manis?
Sabtu
28 April 2018,
05.30
WITA, kami mau tak mau harus segera melakukan perjalanan menuju bandar udara Tambolaka.
Sejak semalam seluruh perangkat desa menemani kami hingga larut. Banyak
perbincangan seperti tak ada hari esok lagi untuk bertemu. Bahkan agar tak
terlambat melepas kami, seluruh perangkat desa pun ikut tidur dipelataran balai
desa. Aku yang melewati para papa saat subuh tadi merasa haru. Sebegini
perjuangan mereka. Aku sedih sebab hari ini harus mengendurkan benang merah yang
sudah kami rajut.
Tapi
setiap perjumpaan pasti selalu ada perpisahan. Kami juga tak bisa selamanya
berada disini, tenggat-tenggat telah menanti di rumah kami. Dan kami harus
mengucapkan selamat tinggal (untuk sementara). Setelah bersalaman dengan seluruh
perangkat desa kami menaiki pick up yang akan mengantar kami ke bandar udara.
Dan aku memposisikan diriku disisi yang tak mampu ku raih wajah-wajah itu.
Tenggorokanku tercekat saat setelah pick up kami melaju dan lambaian itu
menghlang dipersimpangan jalan. Semilir angin, rumah adat, hewan ternak, satu
persatu kuingat-ingat dan mencoba mematri didalam ingatan. Tidak boleh lupa
begitu tekadku. Semoga, aku tidak pernah melupakan semua ini. Selamat tinggal
Wee Pangali, ku usahakan untuk kembali lagi suatu hari nanti.
.
.
.
0 komentar :
Posting Komentar