Mei 06, 2018

Buah Tangan Dari Sumba : Bagian Empat


Kamis 26 April 2018,
            Pagi kami dimulai dengan menyelesaikan tong sampah kami dan hiasan botol. Lem dimana-mana, aromanya sesekali membuat kami pusing, ini sisi serunya. Kami juga saling bertukar cerita hingga banyak tawa yang kami ciptakan. Hingga teman-teman divisi ekonomi memberi kode kepada kami untuk mengisi pogram sekolah lingkungan berupa praktik membuat tote bag dari kaos bekas yang sudah kami rencanakan semalam untu berkolaborasi antar dua divisi.

            Pada program kerja ini, kami merasa miris sedih dan geli akibat prediksi kami dua hari yang lalu terpampang nyata dihadapan kami. Setelah kami melihat lokasi pengabdian kami dan menilik kaos bekas yang kami miliki, kami sama-sama merasa baju bekas kami jauh lebih layak dikatakan sebagai bekas ditempat ini. Dan benar saja, kejadian menggelikan pertama terjadi kemarin di SD M Puu Uppo, seorang adik kecil meneriaki kami ketika kami mempraktikkan pembuatan tas pengganti kantong plastik itu, katanya “Potong terus kakak,potong saja terus itu baju bagus. Potong terus!” dengan lantang dan dialek yang khas. Dan hari ini giliran mama Arsel yang buka suara katanya begini,”Sudah anak, satu saja yang dijadikan contoh. Jangan lagi dipotong-potong itu baju. Buat mama saja,mama bawa pulang” hahaha, astaga dan kami tak mampu berkata apa-apa.

Setelah agenda tersebut selesai,kami bergegas menuju rumah baca untuk mulai mengecat hiasan bunga dan gurita yang sudah kami buat. Kami mengerjakan bersama dengan adik-adik yang baru saja pulang dari sekolah. Seru sekali, antusias mereka sangat tinggi. Beberapa meminta diajarkan untuk membuatnya. Dan yang lain lagi sibuk mewarnai dan bercanda dengan kawan-kawannya yang lain. Hari itu aku bertemu dengan seorang anak bernama Oncu,lucu sekali dia bisa menirukan suara kucing yang sedang bertengkar dengan sangat mirip, ada juga Deo bocah kecil yang pendiam, Nice yang mengatakanku sebagai orang kaya hanya karena memakai jam tangan, dan sejak itu aku melepas jam tanganku jika aku bermain keluar, juga Ilmi gadis cilik yang ingin jadi suster yang setelah kami berkenalan kami selalu dekat.

Jumat 27 April 2018,
            Pagi-pagi sekali kami yang sudah bangun mulai menuju ke rumah baca. Kami menyelesaikan mengecat plang dan membantu teman-teman divisi pendidikan mengecat rumah baca. Sebuah bangunan tua yang tidak terpakai di sisi balai desa yang kami sulap menjadi perpustakaan bagi adik-adik dan masyarakat disana. Semoga terus menjadi gudang ilmu bagi kalian, saudaraku. Antusiasme anak-anak disana semakin tinggi. Beberapa bahkan membawa sepedanya untuk di cat ulang. Papa papa desa juga membantu kami mengecat rumah baca dan membuatkan pintu dan jendela.

Disisi lain kawan-kawan kami yang sudah selesai melakukan program kerja membantu para mama mama desa untuk memasak. Perpisahan desa akan dilakukan sore nanti. Sedih rasanya,kenapa cepat sekali.Pesta kecil-kecilan itu dilakukan dengan menyembelih kambing paginya. Dan kini mama-mama desa dan salah satu koki hebat kita sedang memasak didepan posko kami. Dengan tungku yang dibuat sendiri. Begitu hangat melihat kebersamaan itu.

Sore hari sudah datang, kami semua berkumpul di balai desa. Jika mengingat hari itu kembali, aku begitu terharu dan sedih. Iya, suasana sore itu begitu emosional, ditambah lagi hujan datang meski sebentar seperti mengantar kami menuju perpisahan. Kata terimakasih maaf semua menimbulkan tetes tetes air mata. Bahkan aku tak mampu berkata banyak saking sakitnya tenggorokanku menahan tangis. Begitu banyak kebaikan yang diberikan oleh masyarakat Wee Pangali dan kami masih hanya bisa memberikan hal yang sedikit. Dan disini kami hanya dapat berdoa, semoga apa yang kami beri akan selalu membekas dan menjadi inspirasi bagi masyarakat disana. Semoga membangunkan asa bukannya memutus mimpi. Sebab apa yang kami beri, rasanya masih sedikit untuk menggantikan keramahtamahan Wee Pangali. Setelah suasana haru itu, kami makan bersama dan melakukan pesta perpisahan kecil-kecilan. Ada perlombaan menyanyi,menari, juga berpuisi.

Dan yang paling menyedihkan adalah dua orang gadis kecil menghampiriku, yang satu berkata”Setelah kakak pulang, kapan kakak ke Sumba lagi? Kakak Meita, jangan lupakan Archen ya?” yang satunya lagi bernama Iky berkata “Kakak sudah, kakak Meita jangan menangis. Kak, sudah jangan menangis ya. Tersenyum” katanya sambil menggenggam tanganku. Aku terharu. Bagaimana aku tak boleh menangis gadis manis?

Sabtu 28 April 2018,
05.30 WITA, kami mau tak mau harus segera melakukan perjalanan menuju bandar udara Tambolaka. Sejak semalam seluruh perangkat desa menemani kami hingga larut. Banyak perbincangan seperti tak ada hari esok lagi untuk bertemu. Bahkan agar tak terlambat melepas kami, seluruh perangkat desa pun ikut tidur dipelataran balai desa. Aku yang melewati para papa saat subuh tadi merasa haru. Sebegini perjuangan mereka. Aku sedih sebab hari ini harus mengendurkan benang merah yang sudah kami rajut.

Tapi setiap perjumpaan pasti selalu ada perpisahan. Kami juga tak bisa selamanya berada disini, tenggat-tenggat telah menanti di rumah kami. Dan kami harus mengucapkan selamat tinggal (untuk sementara). Setelah bersalaman dengan seluruh perangkat desa kami menaiki pick up yang akan mengantar kami ke bandar udara. Dan aku memposisikan diriku disisi yang tak mampu ku raih wajah-wajah itu. Tenggorokanku tercekat saat setelah pick up kami melaju dan lambaian itu menghlang dipersimpangan jalan. Semilir angin, rumah adat, hewan ternak, satu persatu kuingat-ingat dan mencoba mematri didalam ingatan. Tidak boleh lupa begitu tekadku. Semoga, aku tidak pernah melupakan semua ini. Selamat tinggal Wee Pangali, ku usahakan untuk kembali lagi suatu hari nanti.
.
.
.
Jika mungkin kamu penasaran dengan orang-orang hebat yang menginspirasiku dan menemani perjalananku, kau dapat membaca tulisan dari fasilitaor kami bit.ly/perjumpaanparajawara.

0

0 komentar :

Posting Komentar