Mei 06, 2018

Buah Tangan Dari Sumba : Bagian Lima, Sebuah Akhir dari Pengelabuhan


Sabtu 28 April 2018,
            Masih terasa haru dan sesak ketika kami sampai di bandar udara Tambolaka. Ada yang akan kami tinggalkan meski kita masih berada disini selama dua hari. Namun bagaimanapun semua harus pean-pelan dilepaskan, melepaskan sedih maksudku. Sebelum keberangkatanku kemari, aku sudah berjanji kepada beberapa temanku untuk melakukan perjalanan. Menghibur diri dengan menjajaki indahnya Sumba.

            Perjalanan pertama kami yaitu menuju pantai Mandorak dan danau Weekuri. Kami menuju wilayah tersebut menggunakan mobil. Jumlah kami cukup banyak, sehingga kami harus menyewa tiga mobil. Perjalanan menuju pantai tersebut tidak cukup mudah. Kami harus melewati pedalaman. Aku rasa itu suku pedalaman. Jalan yang kita lalui merupakan jalan sempit setapak yang disisi kanan kirinya berupa semak semak dan pohon-pohon. Beberapa rumah adat berdiri kokoh dengan jarak yang cukup jauh antar satu rumah dengan lainnya. Anak-anak kecil sesekali mengejar mobil kami dan meneriakan”kak minta uang, kak minta uang” yang lainnya lagi membantu orang tuanya mengambil air dari sumur dengan jerigen-jerigen, beberapa mama berkumpul dan bercengkrama diantaranya bahkan hanya mengenakan sarung untuk menutupi bagian bawah tubuhnya. Sepanjang jalan aku bahkan sering berhalusinasi, sepertinya,seluruh pohon yang aku lewati seperti memiliki wajah. Sosok lelaki. Aku berusaha tidur agar tidak melihat kearah keluar jendela. Namun tak lama setelah aku mampu mengalihkan pikiranku, tiba –tiba kami di berhentikan oleh segerombolan lelaki. Yah, singkat cerita kami terkena pungli yang mau tak mau harus kita iyakan agar kami selamat.

            Dan perjalanan kami terbayarkan dengan keindahan pantai Mandorak yang airnya begitu biru. Karangnya cukup tajam tapi begitu indah, seperti sebuah perumpamaan bahwa yang indah pastilah harus menyakitkan dahulu. Begitu juga dengan danau Weekuri yang sejatinya merupakan sebuah Lagoon, biru hijau. Semua terlihat bahagia disini. Beberapa orang-orang menjajakan kain tenun sumba dan kelapa muda. Oh iya, benar kata orang. Kelapa muda Sumba begitu menyegarkan. Aku ingin berlama-lama seperti ini, menikmati sudut lain tanah air dengan damai.

Setelah itu kami menuju ke desa adat Ratenggaro, indah sekali sebuah desa dipesisir pantai. Sebuah kisah lucu disini, anak-anak Sumba yang masih sedikit edukasinya masih diberi pemahaman untuk meminta-minta pada para wisatawan. Dan ada saja akalnya selain hanya mengajak berkenalan lalu menjual sesuatu dengan paksa atau to the point dengan meminta uang untuk membeli buku. Siang itu ketika kami berfoto diatas karang seorang anak kecil menghampiri kami dan berkata pada seorang kawanku “Kakak, pamali tidak boleh menaiki karang. Karang itu sebenarnya buaya. Pamali kakak” katanya meyakinkan. Kawanku berkata,”hah, terus bagaimana adik sudah terlanjur?” katanya was was. “Kakak harus kasih uang kakak, kalau tidak kalau kakak kemari lagi,barang kakak ada yang hilang”, katanya lagi. Lalu aku dan kawan-kawanku menahan tawa dan meninggalkan si adik yang terus mengikuti kami dan meyakinkan salah satu kawanku. Setelah dari Ratenggaro kami melanjutkan perjalanan menuju Sumba Timur. Di tengah perjalanan kami berhenti sebentar dikota untuk makan. Dan ketika makan, hal yang paling membuatku sejuk adalah untuk pertama kalinya aku mendengar suara adzan di Sumba dari masjid terdekat.

Minggu 29 April 2018,
Kami tiba di hotel sudah hampir tengah malam setelah lebih dari dua jam perjalanan. Melalui jalanan gelap,hutan yang katanya banyak perampas hutan, dan jalanan yang berkelak-kelok dan naik turun. Setelah kami membersihkan diri kami beistirahat untuk melanjutkan perjalanan menuju bukit Wairinding paginya.

Paginya kami menuju bukit Wairinding, jalan yang dilalui rupanya sama dengan perjalanan semalam. Waktu ku amati, jalanan disini seperti jalan yang dibuat setelah membelah bukit. Struktur tanahnya seperti batuan kapur juga terdapat  karang-karang. Jika kita melihat kearah kanan dan kiri semuanya adalah bukit dan sabana. Indah sekali.

Sesampainya di bukit Wairinding, dibawah terik matahari kami menaiki jalanan yang menanjak. Sedikit melelahkan tapi semua terbayar dengan bukit Wairinding yang katanya bikin merinding. Ternyata tidak hanya katanya, aku merinding dengan ciptaan Tuhan ini. Sepertinya Tuhan sedang senang saat menciptkan bukit Wairinding. Angin yang kencang bau rerumputan dan hamparan bukit-bukit indah yang tertata rapi. Setelah itu kami menuju bukit Persaudaraan yang banyak sekali terdapat kuda yang sedang merumput. Dari bukit ini kami juga dapat melihat laut dan disisi lainnya dapat melihat sawah terhampar. Diperjalanan kami juga melewati bukit Raksasa Tertidur. Betul betul seperti raksasa yang tertidur. Ah,bagus sekali.

Setelah menjelajahi bukit-bukit yang indah, kami berencana melanjutkan perjalanan menuju pantai Walakiri yang sunsetnya begitu indah. Dalam perjalanan kami mampir dahulu ke suatu rumah tenun, disana aku melihat begitu banyak keindahan tenun Sumba Timur.Harganya lebih tinggi memang dibandingkan yang dijual di pasar, hotel, dan tempat wisata. Namun kualitasnya memang tidak diragukan lagi, kainnya halus, pewarnanya pun juga alami. Yang indah dari tenun Sumba adalah, setiap tenunan punya cerita,meskipun aku tak hafal bagaimana cerita dari setiap kain aku selalu mengagumi setiap corak juga warnanya. Seselesainya kami dari rumah tenun, kami menuju pasar yang tak jauh dari sana.Kami membeli buah tangan yang mampu kami beli,ikat, kain, sarung, ataupun sisa sisa kopi yang belum terjual.

            Kami melanjutkan perjalanan menuju pantai Walakiri. Sesampainya disana kami disuguhkan dengan hiruk-pikuk suka cita wisatawan. Pasir pantai yang putih dan sangat halus, bintang laut yang berada dimana-mana, juga sisa-sisa cangkang kerang yang ditinggalkan penghuninya. Disatu sudut tumbuh dengan kokoh tanaman bakau. Aku duduk di pinggir pantai menanti matahari sedikit tergelincir lagi. Setelah matahari berada pada tempat yang pas menurutku, aku berjalan menuju pepohonan bakau. Benar benar, langit Sumba adalah rumah terbaik bagi senja. Indah sekali, syahdu didalam sanubari. Senja yang emas, jingga, merah muda, indah sekali.

Malam harinya ketika perjalanan pulang, sial sekali aku bermimpi dihadang oleh lelaki dengan parang. Memalukan sekali hingga aku dibangunkan oleh temanku karna aku mengigau. Untuk beberapa menit aku terjaga dan bertekad untuk tidak tertidur selama melewati hutan yang memang sangat rawan jika dimalam hari. Tapi rupanya kantukku lebih berat. Entah berapa lama aku tertidur selama perjalanan, tapi aku sempat bangun ketika Kak Peter,driver kami keluar mobil dan mengecek ban belakang mobil kami. Dan kemudian terbangun kembali karena kak Peter membanting pintu mobil untuk menemui driver mobil lainnya dan beberapa penduduk sekitar. Sayup-sayup aku mendengar “Sa sudah feeling kita diikuti dari tadi dengan motor itu”, “iya motor itu sudah dibelakang mengikuti kita dari masuk hutan, bawa parang itu” katanya kemudian dengan dilanjutkan dengan percakapan bahasa daerah yang kurang aku pahami. Iya aku gemetar terlebih ketika kak Peter kembali ke dalam mobil dan berkata “Hampir saja tadi kita kena, untung bisa lolos kalau tidak sudah mati kita” oh Tuhaaaan. Aku merinding sebab jumlah orang,kendaraan yang ia pakai, dan parang. Semua sama persis seperti apa yang ada didalam mimpiku dan dengan santainya kami semua yang berada dimobil tertidur dengan pulasnya. Yah, setidaknya kami bersyukur kami masih selamat.Disisa perjalanan menuju Tambolaka kami habiskan dengan doa doa agar kami selamat sampai hotel dan mempersiapkan kepulangan kami esoknya.

Senin 30 April 2018,
Hari ini adalah kepulangan kami. Pulang yang benar-benar pulang menjumpai rutinitas yang sedang kita kelabuhi. Salah satu kawanku yang cukup menginspirasiku, yang sedang berkuliah di institusi ternama di Malang tiba-tiba bercerita kepadaku, bapa Yoseph disuatu malam bercerita kepada kawan-kawan yang masih menginap di Wee Pangali, katanya dengan mata yang sembab, “Kemungkinan kita bertemu lagi itu sudah hampir tidak ada. Kalaupun kalian kemari lagi, belum tentu kita masih dapat bertemu. Kemungkinannya sangat kecil” Membuatku berpikir kembali menuju Wee Pangali dan secara tak sadar mengiyakan kata-kata bapa Yoseph.

Semenjak pesawat lepas landas, aku terus merenung. Sumba, kita benar-benar berpisah hari ini. Aku sudah berada di Bali pagi tadi, dan sore ini aku harus kembali ke Yogyakarta. Iya kita benar-benar terpisah antar pulau, samudra membentang luas, dan juga zona waktu kita sudah berbeda. Aku juga menyadari satu hal, Suatu keterbatasan rupanya adalah emas yang masih tersimpan rapi, menanti pemuda-pemuda tangguh dan hebat untuk membukanya, menjadikannya ladang-ladang gersang menjadi subur menumbuhkan kembali asa yang sekian lama terkubur. Memuliakan pertiwi menuruskan dan mewujudkan asa. Dan setiap garis waktu bergulir, rupanya konstelasi akan bertambah, meluas. Mengingat setiap hal dengan benang merah yang katanya sakral. Dan menyatukan semua itu menjadi gumpalan rindu. Wee Pangali, Sumba, dan semua yang terkait didalamnya. Nama kalian akan abadi dalam tulisan ini. Dan juga hatiku. 

Terimakasih sudah mengukir cerita dalam hidupku.

0

0 komentar :

Posting Komentar