Juli 08, 2018

Puan Merindu


Selamat hari Minggu, sudah bermalam-malam ini ingatanku berkilas balik di sore yang damai itu. Sore dengan penuh tawa dan canda.  Dibawah langit Rote, angin sayup-sayup membelai wajah-wajah manusia yang sedang tertawa. Asap mengepul dari bara kelapa yang membakar ubi-ubi. Candaan mereka pun berkeliaran dalam ruang malam yang sunyi dan dingin.

“Ikan, ikan apa yang diam terus?” Tanya Akbhar Gorath
“Ikan lagi tidur” Timpal Yani
“Salah, nyerah nyerah?” Meneliti satu persatu wajah kami
Semua mengangguk
“Ikan paus. Pau-se.(Pause) Hahaha”

 “Lagi lagi. Pantai! Pantai apa yang bisa melindungi dari hujan?
“Nembrela, ella, ella (Umbrella) hahahhaha”

Semuanya saling berpandangan dan tertawa pada sebuah lelucon yang sesungguhnya tak pernah membangkitkan rasa humor itu.

Kali ini Dimas tak tinggal diam,

“Eh eh, aku punya cerita nih. Jadi aku, Geo, Gorath naik gunung. Di gunung itu ada pantangan gaboleh nginjek kodok,kalau nginjek kodok nanti jodohnya buruk rupa. Di pos pertama aku nginjek kodok, agak takut gitu tapi yaudah kita tetep ga percaya dan terus lanjutin perjalanan, eh setelah di pos 3 Geo injek kodok tapi kaya tadi yaudahlah kita tetep naik kepuncak aja. Dan sampe dipuncak sampe turun lagi kebawah selamat. Setelah beberapa tahun kemudian bertiga menikah, pas datang ke nikahan Gorath, keliatan tu istriku sama istrinya Geo beneran buruk rupa. Dan anehnya istri Gorath cakep sama sekali ga buruk rupa. Kira-kira kenapa tu?”
“Kenapa kenapa?” Semua antusias
“Karna istri Gorath yang injek kodok hahahahaa”

            Ingatanku pun berputar menuju hari-hari selanjutnya. Hari dimana menjadi hari paling melelahkan tapi juga menyenangkan bagi kami. Terik diatas kepala, kak Hendra membantu kami membuka kelapa muda dengan rasa khas itu dibelakang balai desa.

“ Ayo kak Hendra bilang Jancuk begitu” Jahil Dimas
“Tidak, tidak boleh. Tidak baik itu artinya” Kata kak Hendra
“Loh enggak kak, percaya deh itu sebenernya bukan kata kasar. Ayo kakak!”
“Tidak, tidak mau. Tidak boleh” Timpalnya lagi sembari menggeleng dan tersenyum

            Kita sontak saja tertawa terbahak-bahak kala itu. Seluruh ramai tawa kita memenuhi tiap penjuru ruangan di sekelilingku, tiba-tiba perlahan menjadi sayup kemudian menjadi menghilang ditelan senyap yang senyatanya. Sudah sepekan lebih berlalu dan semuanya masih teringat amat jelas dalam memori. Rasa dan karsa seluruhnya.

Ya,
Bagiku Bo’a bukan hanya sekedar  desa di pulau terselatan di Indonesia.  Bo’a bukan hanya tuannya lautan biru yang begitu menawan. Bo’a bukan hanya dimana rupanya senja sedap dipandang. dan Bo’a bagiku bukan hanya sekedar desa kecil yang indah dimana aku pernah mengabdi dalam hitungan hari disana. Bo’a lebih dari sekedar itu.

Bagiku Bo’a adalah kasih, Bo’a adalah cinta. Bo’a adalah semangat yang membara. Bo’a adalah mimpi-mimpi dan cita-cita. Bo’a adalah tentang persahabatan dengan orang-orang baru. Jalinan-jalinan dan awal dari seikat benang merah. Bo’a adalah kehangatan, rumah yang ramah bagi setiap yang singgah. Bo’a adalah jejak-jejak paling dalam bagi sang kelana, sang pencari makna.

Malam itu juga pagi itu, dipenghujung bulan Juni. Perpisahan meringsekkan hatiku, sukses membuatku berbilur lagi, bilur yang kurelakan menganga tanpa sebab yang pasti. Hujan Bulan Juni milik Sapardi benar adanya, hari itu hujan turun dari pelupuk dan tak ada yang lebih tabah darinya.

Percayalah, setiap tempat yang kusinggahi, setiap manusia yang kujumpai, mereka punya tempat tersendiri di dalam hatiku. Dan saat ini, rasaku Bo’a menjadi yang paling membekas dan menjadi yang paling ingin kusinggahi lagi. Mengapa? Sebab di Bo’a semua doa masa silam ku terwujud, sebab di Bo’a aku telah mematahkan kata orang-orang dengan seribu wajah, dan sebab di Bo’a aku bertemu dengan teman, sahabat, keluarga baru yang selalu menghangatkan hati, dan mampu memunculkan lagi sinar itu.

Terimakasih untuk  semua yang telah melukis diatas kanvas perjalanan hidupku. Terimakasih sebab sudah membuka pandanganku dari berbagai sudut. Terimakasih sebab lagi-lagi aku jatuh hati pada setiap pemikiran manusia.

Makasih nae-nae Bo’a.
Cerita yang kau tinggalkan tertanam dengan indah.

~~~

Tulisan ini, aku dedikasikan untuk sahabat juga keluarga baruku,

Alda si manis yang periang, Wika si blogger humoris yang selalu menghidupkan suasana menjadi ceria, Echa si muslimah anggun,  Ami si cerdas yang pintar berbahasa inggris dengan logat tegas Palu yang khas, Yarin yang sejak sebelum keberangkatan selalu khawatir akan mengeluarkan logat Jawa Surabayan selama mengabdi akhirnya memiliki satu kata andalan “Jancuk”, Akbhar yang tak mudah diprediksi dengan segala lelucon dan dustanya, Dimas yang sudah meraih mimpinya menjadi bocah petualang dengan menyayat kelapa dan memakan ubi merah muda, Geo si tua yang berjiwa muda seseorang yang tak pernah patah semangat untuk selalu membuat kita tertawa. Kak Putri yang rupanya diam-diam cakapnya menghanyutkan.

Kak Hendra pemuda Bo’a pecinta kopi Mandailing yang selalu ikhlas dan senang hati menemani kami dalam setiap menjalankan program dan sampai saat ini masih tetap menjalankan program kompos di Bo’a dan rutin bertukar kabar bersama kami. Yani si pandai yang baru saja di terima di salah satu universitas ternama di Kupang, kejar terus mimpimu Yani! Samy si anak ceria dari Timor Leste yang waktu itu sedang berlibur di Rote dan juga selalu membantu kami di berbagai program.

Kak Acha, wanita tangguh yang menjadikan semua cerita ini ada. Kak Putra, fasilitator bagian lingkungan yang selalu memberikan pendampingan yang terbaik bagi kami, Kak Bageur yang dalam beberapa kesempatan juga membantu kami dan menemani kami saat program berjalan maupun saat waktu senggang. Kak, kakak-kakak sekalian semakin membuat saya terinspirasi dan kagum sejak setelah pertemuan pertama kita di Sumba, Nusa Tenggara Timur.

Teman-teman sesama koordinator bagian, Dokter Icha koordinator bagian kesehatan yang sangat lembut, baik hati, dan selalu mengayomi kami, Arief koordinator bagian pendidikan, sesama penyuka dan pemburu kegiatan pengabdian yang sukses menjalankan seluruh program pendidikan walau hanya dalam waktu satu hari, Fauzan koordinator bagian ekonomi kreatif yang cukup baik menghandle semua programnya. Juga Cholis, koordinator umum tim kami, penyelamat tim bagian lingkungan, selalu menolong kami baik saat sebelum kegiatan berjalan hingga program berjalan, selamat sudah menjadi koordinator terbaik bagi kami semua.

Dan juga tentu saja untuk Bapak Mersi, Bapak Petrus sekeluarga, Bapak Kepala Dusun Oe Mae sekeluarga, Bapak kepala dusun Fimox, Seluruh perangkat desa dan seluruh masyarakat Bo’a, adik-adik Bo’a, juga kawan-kawan sesama delgasi Inavis Nusantara Mengabdi 3 yang membanggakan yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

Semoga, suatu hari nanti kita dapat bertemu kembali.

Yogyakarta, 8 Juli 2018





1

Juli 05, 2018

Kisah dari Bo’a : Jejak yang Tertinggal


Sabtu, 30 Juni 2018
            Pulang.
Jujur aku begitu sedih meninggalkan tempat yang baru beberapa hari saja aku jajaki. Aku masih ingin berlama-lama disini. Bersama dengan teman-teman bagian lingkungan, dengan Yani, Kak Hendra, Samy dan seluruh masyarakat Bo’a juga seluruh delegasi.

Pagi-pagi sekali kami telah meninggalkan Bo’a untuk menuju bandar udara. Aku bersyukur menjadi salah satu manusia yang berkesempatan memijakkan kaki di pulau Rote, dimana pulau tersebut hanya sebuah gambar di peta yang ingin sekali aku tuju dimasa kecilku. Aku bersyukur, memiliki kesempatan berbaur dengan masyarakatnya. Aku bersyukur, telah merasakan keramahannya. Aku bersyukur dan sangat amat bersyukur saat ini.

Alasanku menulis ini adalah agar aku terus bersyukur dan lebih memahami kehidupan. Aku menulis agar aku mengingat bahwa banyak anak-anak yang harus kita jaga semangatnya belajar. Aku menulis agar lebih banyak lagi orang-orang yang mau merasakan kehidupan yang lebih damai. Dan alasanku menulis ini adalah agar kisah ini terus abadi meskipun suatu hari nanti aku tak sengaja akan melupakan.

Selamat tinggal. Bo’a, aku akan rindu. Nanti setelah hujan datang dan menghapus jejak kami. Sesegera mungkin kami akan kembali kesana untuk meninggalkan kembali jejak yang lebih dalam. Jangan pernah kehilangan hangat dan ramahmu Bo’a.

0

Kisah dari Bo'a : Emas yang Terpendam


Jumat, 29 Juni 2018
Pagi menjelang, seusai subuh aku dan teman-teman bagian lingkungan tak seperti biasanya melanjutkan tidur hingga pukul enam. Setelah menunaikan ibadah Subuh kami bergegas mempersiapkan diri, mandi menggunakan tisu basah, berganti pakaian,lalu mempersiapkan peralatan-peralatan untuk melakukan program kami hari ini. 

Jam menunjukkan pukul 06.30, bagian lingkungan dan beberapa teman-teman bagian pendidikan yang membantu program kami bergegas berjalan menuju rumah bapak Mersi. Pagi ini program yang akan kami kerjakan adalah Clean Up World Campaign Aksi Bersih Pantai yang akan kami lakukan di dusun Fimoks dan pembuatan kompos di dusun Ndu Ndao tepatnya di Balai Desa.

Sesampainya di rumah bapak Mersi kami menanti beberapa saat untuk selanjutnya diantarkan Bapak Mersi menggunakan truknya menuju Pantai Toro Ndola, wisata pantai yang tergolong masih baru di Desa Bo’a dikelola langsung oleh Badan Usaha Milik Desa atau BUMDES. Perjalanannya lumayan cukup jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki. Jalananya berliku, naik dan turun, serta dibeberapa jalan sangat berdebu.

Perjalanan tersebut benar-benar terbayar dengan lunas. Pantai Toro Ndola benar-benar sangat indah dengan tebing-tebing khasnya. Lautnya membentang dan memunculkan karang-karang indah. Tapi sayang, sampah begitu banyak disini, sedikit mengurangi nilai estetika. Menurut perangkat desa, sampah ini beberapa dari wisatawan sebagian banyak yang lain berasal dari sampah kiriman air laut saat pasang. Yah benar-benar disayangkan, aku rasa generasi muda harus benar-benar merubah sudut pandang akan sampah. Aku rasa sampah benar-benar harus dikelola dari diri sendiri. Pengelolaan sampah seminimal mungkin harus dimulai dengan membuang sampah ditempatnya, ikuti program TPS 3R yang nantinya sampah akan dikelola dengan Reduce, Reuse, Recycle dan berakhir di Tempat Pemrosesan Akhir atau TPA bukan di lautan.

 Tiga trash bag terisi penuh oleh sampah, dan itu masih belum cukup untuk menampung beberapa sampah lainnya. Beberapa dari kami juga menyapu sampah yang berada dibawah-bawah karang yang besar menggunakan sapu khas Rote. Sapu tersebut berasal dari dahan dimana bunga-bunga kelapa tumbuh. Setelah sampah semua terkumpul kami membawanya kesalah satu tempat dibawah karang yang begitu besar. Berhubung wilayah ini tidak terjamah truk pengangkut sampah,maka kami membakar sampah-sampah tersebut.

Seusai melakukan aksi bersih pantai, kami diantar oleh bapak Mersi menuju Balai Desa. Kami mengangmbil rute yang berbeda dari jalan berangkat,kami melewati pinggiran pantai yang begitu biru dan indah. Sangat sangat memanjakan mata bagi yang memandang. Sebegitu takjubnya kami hingga tak mampu berkata-kata lebih banyak selain “wah” dan “wow”.

Kami sampai lebih cepat dari yang diperkirakan. Teman-teman bagian pendidikan sebagian kembali kepantai dan sebagian lainnya menuju posko. Kami, teman-teman bagian lingkungan mulai mempersiapkan program kami. Setelah persiapan program kami selesai dan hanya menunggu para warga untuk datang, salah satu teman bagian lingkungan berinisiatif untuk memasak mie instan lagi di rumah warga. Bagaimana tidak, kami belum sarapan sedari pagi hahaha

Tim lingkungan dibagi menjadi tiga bagian kala itu, pertama menjaga peralatan pembuatan kompos, kedua membeli minuman dan memanggil warga untuk berkumpul di Balai Desa dan ketiga memasak dirumah warga sembari mengajak warga untuk membuat kompos. Mie instan jadi dan masyarakat belum terlihat mendatangi Balai Desa, kami buru-buru melahap mie instan tersebut bersama-sama dalam satu mangkuk besar. Entah tapi bagiku ini adalah salah satu bagian menyenangkan di Bagian Lingkungan selain bertukar candaan disela-sela istirahat kami.

Seusai sarapan dan masyarakat mulai berdatangan, kami memulai praktik mengolah kotoran ternak menjadi kompos cair dan kompos padat. Untuk membuat kompos cair bahan yang diperlukan adalah kotoran ternak, air 3 liter, gula 300 liter, dan EM4 0.5 liter. Untuk membuat kompos padatpun sama namun komposisinya yang sedikit berbeda. Antusias warga dalam pelatihan ini cukup besar. Banyak masyarakat dan remaja berdatangan untuk belajar membuat kompos bersama sama.
Pelatihan pembuatan kompospun selesai, kak Hendra salah satu pemuda yang selalu menemani kami menganjurkan untuk memetik kelapa dan kami konsumsi bersama-sama. Aku lupa berapa buah kelapa yang telah ditebas yang pasti banyak sekali sampai kami betul-betul kekenyangan dan beberapa dari kami sampai tidak memakan jatah makan siangnya. Dan tentusaja selalu ada saja candaan-candaan dan humor-humor kelas rendah disaat kami bagian lingkungan berkumpul.

Setelah kami rasa cukup beristirahat, sebagian dari kami membantu bagian ekonomi kreatif yang sedang kewalahan mengerjakan program bazaar murah. Sebagian lainnya termasuk aku masih menunggu didepan balai desa untuk menanti warga yang ingin belajar membuat kompos kembali. Seusai itu, beberapa dari tim lingkungan bermain ke pantai yang sempat kami lewati tadi, dan sebagian lainnya termasuk aku melanjutkan program meletakkan tong sampah di pantai yang berada didepan posko. Aku bersama keempat teman lingkungan Wika, Ami, Akbhar Gorat dan Akbar Museng berjalan bersama menuju pantai tersebut dan meletakkan tong sampah. Kemudian menikmati indahnya pantai Bo’a mungkin untuk terakhirkalinya di tahun ini. Sebab esok, kami sudah harus meninggalkan Bo’a dan pulang.

Malam harinya, kami melakukan perpisahan kecil-kecilan di posko kami. Pemutaran video perjalanan kami dan penyerahan donasi. Aku sedih, sangat sedih. Suasana haru meliputi ruangan kelas ini. Adik-adik kecil mulai menangis. Begitu juga dengan guru-guru dan beberapa masyarakat yang hadir. Aku berpelukan erat dengan Yani, gadis cerdas dari Bo’a. Cukup lama sekali bahkan sampai sesedih itu kami tak dapat berkata apa apa selain janji untuk dapat bertemu kembali dilain kesempatan. Sedih yang lainnya adalah, ketika acara ini usai dan adik-adik kecil mulai membaca dan membawa pulang surat-surat untuk adik-adik di Bo’a yang dibuat dan dikirimkan oleh remaja-remaja yang sangat peduli dan sayang terhadap mereka.

Malam terakhir di Bo’a adalah malam paling haru selama beberapa hari aku berada disana. Saat itu, rasanya aku ingin sekali memanjangkan malam. Tapi tetap saja kita tidak bisa mengelabuhi semesta. :’)
0

Juli 03, 2018

Kisah dari Bo'a : Nyanyian Anak Bo'a


Kamis, 28 Juni 2018
            Hari ini masih sama seperti hari sebelumnya di Bo’a. Pagi yang sejuk dan mulai menghangat seiring matahari menyingsing. Kaki-kaki kecil anak-anak Bo’a berlarian memasuki SD SMP SATAP. Riuh tawa mereka memenuhi pelataran dan ruangan-ruangan kelas. Dari sudut lapangan terdengar suara adik-adik kecil Bo’a sedang bernyanyi sembari melakukan senam pagi bersama teman-teman bagian kesehatan. Dari sudut ruangan kelas paling ujung juga tak kalah riuhnya, disana anak-anak Bo’a sedang bernyanyi dengan teman-teman bagian pendidikan yang terus memberi motivasi dan semangat belajar. Dan di ruangan dimana aku berdiri, anak-anak remaja Bo’a sedang menyanyikan lagu-lagu daerah Bo’a sembari menanti teman-teman mereka datang dan berkumpul.

“Mai fali e, mai fali e, mama hala ita fali e.
Mai fali e, mai fali e, mama hala ita fali e…”
Mai Fali – M. A. Ndoloe
 ~
“Aua ia mana lolo banda. Aua soda ele le le lele
Ia au tataon mana lolo banda, Au fali du dau ledoa tenaso
Aua ia mana lolo banda, Aua soda ele le le lele
Ia au tataon mana lolo banda, Au fali du dau ledoa tenaso..”
Mana Lolo Banda - NN
Lagu dengan bahasa yang asing bagiku, tapi alunan-alunan suara ceria mereka yang kompak sukses membuatku terharu dan semakin berbangga hati karna aku lahir di Indonesia dan sempat bertemu dengan mereka.

Clean Up World Campaign, hari ini kami akan mengajarkan anak-anak remaja di Bo’a untuk menjaga kebersihan lingkungan, pengelolaan sampah secara sederhana, dan paktik pemanfaatan sampah botol plastik. Bagiku pendidikan pengelolaan sampah sejak usiasekolah sangat penting. Karna menjaga lingkungan haruslah dimulai oleh generasi-generasi muda dimanapun ia tinggal.

Seusai kegiatan Clean Up World Campaign, kami beristirahat sejenak kemudian melanjutkan pembuatan tong sampah yang kita buat dengan bahan dasar botol air mineral bekas. Disini kami dari divisi lingkungan bekerja sembari bercanda seperti biasanya. Malam harinya kami melakukan pengecatan dan bercanda dengan fasilitaor kami kak Acha juga salah satu pemuda di Bo’a yang selalu menemani bagian lingkungan dalam melakukan program kerja,kak Hendra.

Seusai kami menyelesaikan pembuatan tong sampah, kami berjalan menuju rumah bapak kepala dusun untuk membeli bekal untuk esok hari. Esok pagi-pagi sekali kami akan melakukan kelanjutan kegiatan Clean Up World Campaign aksi bersih pantai di dusun lima, atau dusun vimox. Dan sisa malam itu kami habiskan dengan bercanda tawa disepanjang jalan yang gelap dan sesampai kami diposko kemudian kami beristirahat menanti hari esok.

0

Juli 02, 2018

Kisah dari Bo’a : Bo’a yang Ramah


Rabu, 27 Juni 2018
Subuh menjelang beberapa dari kami mulai bergegas menuju sumur yang terletak didepan posko kami untuk mengambil air wudhu dan menunaikan ibadah Sholat Subuh. Intrusi air laut disini hal yang wajar rasaku, sebab beberapa air sumur masyarakat rasanya payau. Curah hujan di Rote pun cukup rendah, untuk kebutuhan makan dan minum beberapa masyarakat mengandalkan air PAM yang dibeli.

Seusai sholat subuh, kami bersiap untuk mempersiapkan program kerja kami yang akan kami laksanakan keesokan harinya dan esok lusa. Tim lingkungan pukul tujuh pagi sudah mulai bergegas bersama-sama menuju sebuah padang rumput yang terhampar tak jauh dari posko dan pantai Bo’a. Sesampainya disana kami mulai memunguti kotoran-kotoran ternak yang berceceran. Kotoran-kotoran ini nantinya akan kami gunakan untuk membuat kompos cair dan padat. Kotoran-kotoran hewan disini cepat sekali keringnya, mungkin pengaruh hari yang begitu panas, langit juga biru sehingga terik matahari tak pernah terhalangi untuk mencumbu padang.

Matahari semakin meninggi, kotoran yang kami kumpulkan sudah kami rasa cukup untuk melakukan praktik pembuatan kompos esok lusa. Kami beristirahat sejenak dan berjalan menuju pantai, mengagumi biru dan dinginnya air laut. Setelah kami puas memanjakan mata, kami bergegas kembali mengambil karung-karung berisi kotoran dan membawanya ke balai desa. Letak balai desa dari tempat kami berada sekitar dua kilo meter, dan kami tidak memiliki kendaraan untuk menuju kesana. Ya, tentu saja kami jalan kaki kesana.

Belum sampai setengah jalan, kami tergiur untuk mampir ke rumah bapak dusun Oe Mae yang memiliki toko kelontong di rumahnya. Kami membeli air dingin juga membeli mie instan untuk selanjutnya kami masak bersama-sama. Mie instan matang, dan kami memakannya bersama-sama dalam satu wajan. Ini menyenangkan sekali menurutku, berbagi bersama dengan orang-orang baru. Dan saat itu aku merasa, persahabatan kita akan dimulai dari sini.

Setelah perut terisi dan lelah berkurang,kami kembali berjalan menuju balai desa. Selama perjalanan kami terus bercanda untuk mengelabuhi jauhnya jarak. Kami juga sering memanggili hewan ternak, babi tepatnya hahaha. Sesampainya dibalai desa kami meletakkan kotoran hewan di depan balai desa dan berdiskusi tentang pemakaian kompos dan permasalahan pertanian di Bo’a. Hasil diskusi siang itu membuahkan hasil, dan perangkat desa mengajak kami ke kebun ubi sore harinya.

Sembari menunggu sore datang, kami bermain ke Gereja yang kebetulan disana sedang berjalan program kerja dari divisi Kesehatan. Kami berada disana sampai jam makan siang. Setelah itu kami menuju kerumah bapak BPD yang berada di samping gereja, hanya terpisah sebuah lapangan dan halaman luas rumah bapak BPD.  Kami banyak berbincang-bincang disana, dengan bapak BPD dengan keluarganya, dan juga dengan bapak pendeta. Kalian tau Andmesh Kamaleng si jawara Rising Star Indonesia? Dia adalah anak kandung dari bapak BPD. Oh iya kami disana juga diajari makan sirih pinang khas Rote. Pinang disini berbeda dengan pinang yang berada di Sumba dulu. Pinangnya sudah kering, bukan berupa buah pinang segar. Jadi kuputuskan untuk mencoba, begitupun dengan teman-teman lingkungan yang lainnya.

Cara memakan sirih pinang yaitu kunyah dulu dua keping pinang kering ludah yang keluar tidak boleh tertelan karna memabukkan, rasa pinang begitu sepat menyeruak dan ah tidak bisa di jelaskan hahaha. Jangan dulu ditelan, setelah sepatnya hilang, potong sirih menjadi beberapa bagian kecil lalu celupkan kedalam kapur dan kunyah bersama dengan pinang tadi, tidak lama kemudian ludah akan berwarna merah. Setelah itu baru seluruhnya dapat ditelan. Keluarga bapak BPD sangat menerima kedatangan kami, beberapa menertawai kami yang baru pertama kali mengunyah sirih pinang. Setelah itu kami melanjutkan candaan kami hingga tak terasa sudah pukul 15.00 WITA dan truk bapak kepala  desa, bapak Mersi datang bersama fasilitator kami Kak Acha dan Kak Putra untuk menjemput kami.

Kami bersama-sama menuju kebun ubi yang berjarak sekitar satu kilometer dari rumah bapak BPD. Sesampainya dikebun ubi, kami mengamati tekstur tanah dan juga cara berkebun masyarakat Bo’a. Setelah kami mengetahui permasalahan pertanian kami diajak ke kebun ubi dengan masa tanam tiga bulan, yang artinya juga sudah dapat dipanen. Disana kami mengamati memang benar ubi di Bo’a terhitung berukuran kecil beberapa seukuran jahe ada juga yang seukuran wortel.

Setelah kami mendapatkan data-data, bapak petani menganjurkan kami untuk memanen sebagian ubi dan membakarnya. Tentu saja tidak kami tolak, kami memanen ubi dan kemudian membakarnya disana. Beberapa teman-teman kami mengambil kelapa dan membukanya sebagai minum kami. Air kelapa di Rote khas sekali, rasanya seperti ada sodanya. Menyenangkan sekali sore itu, ubi bakar manis yang masih hangat air kelapa lezat dan candaan-candaan. Sore paling baik yang pernah aku lalui.

Seselesainya kami bercanda dan menikmati hasil panen, bapak desa mengantarkan kami ke Pantai Bo’a untuk membersihkan badan yang sudah lengket. Cerita lucu disini adalah setelah kami memasuki wilayah pantai tiba-tiba bapak Mersi berkata “Stop dulu, itu ada tiang bendera. Harus hormat kalau lewat” sontak beberapa dari kami yang tidak menyadari bahwa itu sebuah lelucon langsung saja hormat termasuk aku. Aku takut menyalahi adat istiadat waktu itu hahaha. Rupanya Bapak Mersi melanjutkan “tidak tidak sudah,hanya bercanda” hahahahaha  

Cerita menyenangkan hari ini ditutup dengan indahnya senja di Pantai Bo’a. Jingga biru hijau dan kelabu berbaur menjadi satu. Damai.
0

Kisah dari Bo'a : Tentang Bo'a

Kali ini perjalananku singgah di salah satu pulau terselatan Indonesia. Berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pulau Rote. Tepatnya di Desa Bo’a. Desa dengan keramahan penduduknya serta keindahan pantainya.

Selasa, 26 Juni 2018
Pagi itu aku menjajakan kakiku di bandar udara D.C. Saudale. Saat itu angin bertiup kencang membuat pohon-pohon lontar bergoyang menyamakan irama tarian dedaunannya. Udara segar dan hangat mentari menyambut kami yang akan melakukan kegiatan pengabdian selama beberapa hari kedepan. Setelah mengambil barang bawaan serta donasi, aku bersama 36 delegasi lainnya bertolak menuju Desa Bo’a menggunakan truk
.  
Perjalanan ini cukup menyenangkan, 37 manusia didalam bak truk. Masing-masing membawa bekal semangat yang besar juga keikhlasan menularkan kisah dan kasih untuk masyarakat Bo’a. Pada kesempatan ini, kami terbagi menjadi empat divisi yaitu pendidikan, ekonomi kreatif, kesehatan, dan lingkungan. Dan tentu saja aku masih setia untuk menetap pada divisi lingkungan. Perjalanan menegangkan selama kurang lebih satu setengah jam kami tempuh dengan senang hati. Bertukar tawa sebab sang supir truk begitu cepat mengendalikan kendaraannya,mungkin lupa ada nyawa yang ia bawa. Sampai-sampai beberapa dari kami terjatuh dan tak sengaja mematahkan papan dari badan truk ketika truk sedang melaju kuat-kuat menembus sabana-sabana emas Rote.

Truk berhenti, kami tiba di depan sekolah SD SMP N SATAP (dibaca : seatap). Beberapa saat setelah kami beristirahat sejenak sembari menanti bapak desa, kami bahu membahu menurunkan tas serta donasi untuk diletakkan di SD SMP N SATAP. Yaaa, sekolah ini akan menjadi posko dimana kami akan beristirahat dan berdiskusi selama melakukan pengabdian. Dari posko kami, samar-samar terdengar suara deburan ombak juga riuhnya dedaunan lontar dan kelapa yang bergemerisik sebab dibelai angin. Damai sekali.

Sorenya setelah penyambutan dari desa, kami divisi lingkungan mulai mengerjakan program kerja pertama kami yaitu pemetaan sosial dan lingkungan desa. Disini kami ditemani oleh bapak kepala dusun dan seorang pemuda desa berwawasan luas, namanya Hendra. Dari program kerja ini kami banyak mendapatkan informasi-informasi penting desa Bo’a.

Rupanya ketika kami menyusuri Bo’a, sebagian wilayah Nusa Tenggara Timur sedang memasuki musim angin timur, pantas saja angin begitu kencang sejak pertama kali kami tiba. Hal itu menyebabkan petani rumput laut harus membuka ladang di pantai sebelah, Nemberala. Selain itu kamu juga mengetahui bahwa mata pencaharian mayoritas masyarakat Bo’a adalah bercocok tanam ubi dan sawah serta beternak, sebagian juga mencari peruntungan dibidang resort dan villa yang mulai di bangun di desa Bo’a.

Salah satu keunikan di desa ini adalah, hewan ternak tidak memiliki kandang. Masyarakat Bo’a melepas segala hewan ternaknya di halaman rumput sekitar rumahnya. Jadi, tak jarang jika kita melihat sapi, babi, juga kambing berada disisian jalan bahkan sesekali menyeberangi jalanan sepi. Tepat sekali ketika babi-babi selesai menyeberang didepan kami,bapak kepala dusun berkata “ Nah,begini cara panggil babi disini, ou ou ou ou ou ou” , tak lama kemudia babi-babi mulai berjalan mendekati kita.

Sore itu kami habiskan dengan banyak berbincang-bincang tentang adat dan kebiasaan masyarakat Bo’a dan adat kebiasaan kami para delegasi. Bertukar informasi dan percakapan-percakapan hangat lainnya
0

Juni 24, 2018

Berkelana Kembali


Aku pamit untuk berkelana kembali. Mencari makna-makna lagi. Mengejar satu dari sejuta mimpiku, menjamah indahnya Indonesiaku yang tertutupi dengan segala keterbatasan. Mencumbui tanah-tanah dan lautan luas yang terkalahkan dengan kelap-kelip lampu kota dan hiruk pikuknya.

Aku pamit, aku merindui lautan Indonesia. Aku rindu melihat hijaunya Indonesia dari udara. Aku rindu bertemu dengan orang-orang baru. Aku rindu membaur dengan kesederhanaan penduduk pulau-pulau terdepan Indonesia. Menyatu dengan teriknya sabana-sabana.

Aku pamit untuk membawa bilur yang akan aku terbangkan ketikaku berlayar. Mengganti segenggam lara dengan tawa. Membebaskan diriku dari apa-apa yang rupanya sia-sia. Mengelabuhi tenggat dan seribu wajah. Melepas penat dan belenggu teriakan dan makian.

Aku pamit bertemu biru, hijau, jingga, dan warna lain milik Indonesia yang selalu aku kagumi. Aku pamit melihat singgasana para bintang dan sang ratu kirana di rumah-rumahnya di pulau terselatan Indonesia.

Aku pamit sejenak, nanti akan kembali lagi.
Pulang, dengan buah tangan kisah.

0

Mei 06, 2018

Buah Tangan Dari Sumba : Bagian Lima, Sebuah Akhir dari Pengelabuhan


Sabtu 28 April 2018,
            Masih terasa haru dan sesak ketika kami sampai di bandar udara Tambolaka. Ada yang akan kami tinggalkan meski kita masih berada disini selama dua hari. Namun bagaimanapun semua harus pean-pelan dilepaskan, melepaskan sedih maksudku. Sebelum keberangkatanku kemari, aku sudah berjanji kepada beberapa temanku untuk melakukan perjalanan. Menghibur diri dengan menjajaki indahnya Sumba.

            Perjalanan pertama kami yaitu menuju pantai Mandorak dan danau Weekuri. Kami menuju wilayah tersebut menggunakan mobil. Jumlah kami cukup banyak, sehingga kami harus menyewa tiga mobil. Perjalanan menuju pantai tersebut tidak cukup mudah. Kami harus melewati pedalaman. Aku rasa itu suku pedalaman. Jalan yang kita lalui merupakan jalan sempit setapak yang disisi kanan kirinya berupa semak semak dan pohon-pohon. Beberapa rumah adat berdiri kokoh dengan jarak yang cukup jauh antar satu rumah dengan lainnya. Anak-anak kecil sesekali mengejar mobil kami dan meneriakan”kak minta uang, kak minta uang” yang lainnya lagi membantu orang tuanya mengambil air dari sumur dengan jerigen-jerigen, beberapa mama berkumpul dan bercengkrama diantaranya bahkan hanya mengenakan sarung untuk menutupi bagian bawah tubuhnya. Sepanjang jalan aku bahkan sering berhalusinasi, sepertinya,seluruh pohon yang aku lewati seperti memiliki wajah. Sosok lelaki. Aku berusaha tidur agar tidak melihat kearah keluar jendela. Namun tak lama setelah aku mampu mengalihkan pikiranku, tiba –tiba kami di berhentikan oleh segerombolan lelaki. Yah, singkat cerita kami terkena pungli yang mau tak mau harus kita iyakan agar kami selamat.

            Dan perjalanan kami terbayarkan dengan keindahan pantai Mandorak yang airnya begitu biru. Karangnya cukup tajam tapi begitu indah, seperti sebuah perumpamaan bahwa yang indah pastilah harus menyakitkan dahulu. Begitu juga dengan danau Weekuri yang sejatinya merupakan sebuah Lagoon, biru hijau. Semua terlihat bahagia disini. Beberapa orang-orang menjajakan kain tenun sumba dan kelapa muda. Oh iya, benar kata orang. Kelapa muda Sumba begitu menyegarkan. Aku ingin berlama-lama seperti ini, menikmati sudut lain tanah air dengan damai.

Setelah itu kami menuju ke desa adat Ratenggaro, indah sekali sebuah desa dipesisir pantai. Sebuah kisah lucu disini, anak-anak Sumba yang masih sedikit edukasinya masih diberi pemahaman untuk meminta-minta pada para wisatawan. Dan ada saja akalnya selain hanya mengajak berkenalan lalu menjual sesuatu dengan paksa atau to the point dengan meminta uang untuk membeli buku. Siang itu ketika kami berfoto diatas karang seorang anak kecil menghampiri kami dan berkata pada seorang kawanku “Kakak, pamali tidak boleh menaiki karang. Karang itu sebenarnya buaya. Pamali kakak” katanya meyakinkan. Kawanku berkata,”hah, terus bagaimana adik sudah terlanjur?” katanya was was. “Kakak harus kasih uang kakak, kalau tidak kalau kakak kemari lagi,barang kakak ada yang hilang”, katanya lagi. Lalu aku dan kawan-kawanku menahan tawa dan meninggalkan si adik yang terus mengikuti kami dan meyakinkan salah satu kawanku. Setelah dari Ratenggaro kami melanjutkan perjalanan menuju Sumba Timur. Di tengah perjalanan kami berhenti sebentar dikota untuk makan. Dan ketika makan, hal yang paling membuatku sejuk adalah untuk pertama kalinya aku mendengar suara adzan di Sumba dari masjid terdekat.

Minggu 29 April 2018,
Kami tiba di hotel sudah hampir tengah malam setelah lebih dari dua jam perjalanan. Melalui jalanan gelap,hutan yang katanya banyak perampas hutan, dan jalanan yang berkelak-kelok dan naik turun. Setelah kami membersihkan diri kami beistirahat untuk melanjutkan perjalanan menuju bukit Wairinding paginya.

Paginya kami menuju bukit Wairinding, jalan yang dilalui rupanya sama dengan perjalanan semalam. Waktu ku amati, jalanan disini seperti jalan yang dibuat setelah membelah bukit. Struktur tanahnya seperti batuan kapur juga terdapat  karang-karang. Jika kita melihat kearah kanan dan kiri semuanya adalah bukit dan sabana. Indah sekali.

Sesampainya di bukit Wairinding, dibawah terik matahari kami menaiki jalanan yang menanjak. Sedikit melelahkan tapi semua terbayar dengan bukit Wairinding yang katanya bikin merinding. Ternyata tidak hanya katanya, aku merinding dengan ciptaan Tuhan ini. Sepertinya Tuhan sedang senang saat menciptkan bukit Wairinding. Angin yang kencang bau rerumputan dan hamparan bukit-bukit indah yang tertata rapi. Setelah itu kami menuju bukit Persaudaraan yang banyak sekali terdapat kuda yang sedang merumput. Dari bukit ini kami juga dapat melihat laut dan disisi lainnya dapat melihat sawah terhampar. Diperjalanan kami juga melewati bukit Raksasa Tertidur. Betul betul seperti raksasa yang tertidur. Ah,bagus sekali.

Setelah menjelajahi bukit-bukit yang indah, kami berencana melanjutkan perjalanan menuju pantai Walakiri yang sunsetnya begitu indah. Dalam perjalanan kami mampir dahulu ke suatu rumah tenun, disana aku melihat begitu banyak keindahan tenun Sumba Timur.Harganya lebih tinggi memang dibandingkan yang dijual di pasar, hotel, dan tempat wisata. Namun kualitasnya memang tidak diragukan lagi, kainnya halus, pewarnanya pun juga alami. Yang indah dari tenun Sumba adalah, setiap tenunan punya cerita,meskipun aku tak hafal bagaimana cerita dari setiap kain aku selalu mengagumi setiap corak juga warnanya. Seselesainya kami dari rumah tenun, kami menuju pasar yang tak jauh dari sana.Kami membeli buah tangan yang mampu kami beli,ikat, kain, sarung, ataupun sisa sisa kopi yang belum terjual.

            Kami melanjutkan perjalanan menuju pantai Walakiri. Sesampainya disana kami disuguhkan dengan hiruk-pikuk suka cita wisatawan. Pasir pantai yang putih dan sangat halus, bintang laut yang berada dimana-mana, juga sisa-sisa cangkang kerang yang ditinggalkan penghuninya. Disatu sudut tumbuh dengan kokoh tanaman bakau. Aku duduk di pinggir pantai menanti matahari sedikit tergelincir lagi. Setelah matahari berada pada tempat yang pas menurutku, aku berjalan menuju pepohonan bakau. Benar benar, langit Sumba adalah rumah terbaik bagi senja. Indah sekali, syahdu didalam sanubari. Senja yang emas, jingga, merah muda, indah sekali.

Malam harinya ketika perjalanan pulang, sial sekali aku bermimpi dihadang oleh lelaki dengan parang. Memalukan sekali hingga aku dibangunkan oleh temanku karna aku mengigau. Untuk beberapa menit aku terjaga dan bertekad untuk tidak tertidur selama melewati hutan yang memang sangat rawan jika dimalam hari. Tapi rupanya kantukku lebih berat. Entah berapa lama aku tertidur selama perjalanan, tapi aku sempat bangun ketika Kak Peter,driver kami keluar mobil dan mengecek ban belakang mobil kami. Dan kemudian terbangun kembali karena kak Peter membanting pintu mobil untuk menemui driver mobil lainnya dan beberapa penduduk sekitar. Sayup-sayup aku mendengar “Sa sudah feeling kita diikuti dari tadi dengan motor itu”, “iya motor itu sudah dibelakang mengikuti kita dari masuk hutan, bawa parang itu” katanya kemudian dengan dilanjutkan dengan percakapan bahasa daerah yang kurang aku pahami. Iya aku gemetar terlebih ketika kak Peter kembali ke dalam mobil dan berkata “Hampir saja tadi kita kena, untung bisa lolos kalau tidak sudah mati kita” oh Tuhaaaan. Aku merinding sebab jumlah orang,kendaraan yang ia pakai, dan parang. Semua sama persis seperti apa yang ada didalam mimpiku dan dengan santainya kami semua yang berada dimobil tertidur dengan pulasnya. Yah, setidaknya kami bersyukur kami masih selamat.Disisa perjalanan menuju Tambolaka kami habiskan dengan doa doa agar kami selamat sampai hotel dan mempersiapkan kepulangan kami esoknya.

Senin 30 April 2018,
Hari ini adalah kepulangan kami. Pulang yang benar-benar pulang menjumpai rutinitas yang sedang kita kelabuhi. Salah satu kawanku yang cukup menginspirasiku, yang sedang berkuliah di institusi ternama di Malang tiba-tiba bercerita kepadaku, bapa Yoseph disuatu malam bercerita kepada kawan-kawan yang masih menginap di Wee Pangali, katanya dengan mata yang sembab, “Kemungkinan kita bertemu lagi itu sudah hampir tidak ada. Kalaupun kalian kemari lagi, belum tentu kita masih dapat bertemu. Kemungkinannya sangat kecil” Membuatku berpikir kembali menuju Wee Pangali dan secara tak sadar mengiyakan kata-kata bapa Yoseph.

Semenjak pesawat lepas landas, aku terus merenung. Sumba, kita benar-benar berpisah hari ini. Aku sudah berada di Bali pagi tadi, dan sore ini aku harus kembali ke Yogyakarta. Iya kita benar-benar terpisah antar pulau, samudra membentang luas, dan juga zona waktu kita sudah berbeda. Aku juga menyadari satu hal, Suatu keterbatasan rupanya adalah emas yang masih tersimpan rapi, menanti pemuda-pemuda tangguh dan hebat untuk membukanya, menjadikannya ladang-ladang gersang menjadi subur menumbuhkan kembali asa yang sekian lama terkubur. Memuliakan pertiwi menuruskan dan mewujudkan asa. Dan setiap garis waktu bergulir, rupanya konstelasi akan bertambah, meluas. Mengingat setiap hal dengan benang merah yang katanya sakral. Dan menyatukan semua itu menjadi gumpalan rindu. Wee Pangali, Sumba, dan semua yang terkait didalamnya. Nama kalian akan abadi dalam tulisan ini. Dan juga hatiku. 

Terimakasih sudah mengukir cerita dalam hidupku.

0

Buah Tangan Dari Sumba : Bagian Empat


Kamis 26 April 2018,
            Pagi kami dimulai dengan menyelesaikan tong sampah kami dan hiasan botol. Lem dimana-mana, aromanya sesekali membuat kami pusing, ini sisi serunya. Kami juga saling bertukar cerita hingga banyak tawa yang kami ciptakan. Hingga teman-teman divisi ekonomi memberi kode kepada kami untuk mengisi pogram sekolah lingkungan berupa praktik membuat tote bag dari kaos bekas yang sudah kami rencanakan semalam untu berkolaborasi antar dua divisi.

            Pada program kerja ini, kami merasa miris sedih dan geli akibat prediksi kami dua hari yang lalu terpampang nyata dihadapan kami. Setelah kami melihat lokasi pengabdian kami dan menilik kaos bekas yang kami miliki, kami sama-sama merasa baju bekas kami jauh lebih layak dikatakan sebagai bekas ditempat ini. Dan benar saja, kejadian menggelikan pertama terjadi kemarin di SD M Puu Uppo, seorang adik kecil meneriaki kami ketika kami mempraktikkan pembuatan tas pengganti kantong plastik itu, katanya “Potong terus kakak,potong saja terus itu baju bagus. Potong terus!” dengan lantang dan dialek yang khas. Dan hari ini giliran mama Arsel yang buka suara katanya begini,”Sudah anak, satu saja yang dijadikan contoh. Jangan lagi dipotong-potong itu baju. Buat mama saja,mama bawa pulang” hahaha, astaga dan kami tak mampu berkata apa-apa.

Setelah agenda tersebut selesai,kami bergegas menuju rumah baca untuk mulai mengecat hiasan bunga dan gurita yang sudah kami buat. Kami mengerjakan bersama dengan adik-adik yang baru saja pulang dari sekolah. Seru sekali, antusias mereka sangat tinggi. Beberapa meminta diajarkan untuk membuatnya. Dan yang lain lagi sibuk mewarnai dan bercanda dengan kawan-kawannya yang lain. Hari itu aku bertemu dengan seorang anak bernama Oncu,lucu sekali dia bisa menirukan suara kucing yang sedang bertengkar dengan sangat mirip, ada juga Deo bocah kecil yang pendiam, Nice yang mengatakanku sebagai orang kaya hanya karena memakai jam tangan, dan sejak itu aku melepas jam tanganku jika aku bermain keluar, juga Ilmi gadis cilik yang ingin jadi suster yang setelah kami berkenalan kami selalu dekat.

Jumat 27 April 2018,
            Pagi-pagi sekali kami yang sudah bangun mulai menuju ke rumah baca. Kami menyelesaikan mengecat plang dan membantu teman-teman divisi pendidikan mengecat rumah baca. Sebuah bangunan tua yang tidak terpakai di sisi balai desa yang kami sulap menjadi perpustakaan bagi adik-adik dan masyarakat disana. Semoga terus menjadi gudang ilmu bagi kalian, saudaraku. Antusiasme anak-anak disana semakin tinggi. Beberapa bahkan membawa sepedanya untuk di cat ulang. Papa papa desa juga membantu kami mengecat rumah baca dan membuatkan pintu dan jendela.

Disisi lain kawan-kawan kami yang sudah selesai melakukan program kerja membantu para mama mama desa untuk memasak. Perpisahan desa akan dilakukan sore nanti. Sedih rasanya,kenapa cepat sekali.Pesta kecil-kecilan itu dilakukan dengan menyembelih kambing paginya. Dan kini mama-mama desa dan salah satu koki hebat kita sedang memasak didepan posko kami. Dengan tungku yang dibuat sendiri. Begitu hangat melihat kebersamaan itu.

Sore hari sudah datang, kami semua berkumpul di balai desa. Jika mengingat hari itu kembali, aku begitu terharu dan sedih. Iya, suasana sore itu begitu emosional, ditambah lagi hujan datang meski sebentar seperti mengantar kami menuju perpisahan. Kata terimakasih maaf semua menimbulkan tetes tetes air mata. Bahkan aku tak mampu berkata banyak saking sakitnya tenggorokanku menahan tangis. Begitu banyak kebaikan yang diberikan oleh masyarakat Wee Pangali dan kami masih hanya bisa memberikan hal yang sedikit. Dan disini kami hanya dapat berdoa, semoga apa yang kami beri akan selalu membekas dan menjadi inspirasi bagi masyarakat disana. Semoga membangunkan asa bukannya memutus mimpi. Sebab apa yang kami beri, rasanya masih sedikit untuk menggantikan keramahtamahan Wee Pangali. Setelah suasana haru itu, kami makan bersama dan melakukan pesta perpisahan kecil-kecilan. Ada perlombaan menyanyi,menari, juga berpuisi.

Dan yang paling menyedihkan adalah dua orang gadis kecil menghampiriku, yang satu berkata”Setelah kakak pulang, kapan kakak ke Sumba lagi? Kakak Meita, jangan lupakan Archen ya?” yang satunya lagi bernama Iky berkata “Kakak sudah, kakak Meita jangan menangis. Kak, sudah jangan menangis ya. Tersenyum” katanya sambil menggenggam tanganku. Aku terharu. Bagaimana aku tak boleh menangis gadis manis?

Sabtu 28 April 2018,
05.30 WITA, kami mau tak mau harus segera melakukan perjalanan menuju bandar udara Tambolaka. Sejak semalam seluruh perangkat desa menemani kami hingga larut. Banyak perbincangan seperti tak ada hari esok lagi untuk bertemu. Bahkan agar tak terlambat melepas kami, seluruh perangkat desa pun ikut tidur dipelataran balai desa. Aku yang melewati para papa saat subuh tadi merasa haru. Sebegini perjuangan mereka. Aku sedih sebab hari ini harus mengendurkan benang merah yang sudah kami rajut.

Tapi setiap perjumpaan pasti selalu ada perpisahan. Kami juga tak bisa selamanya berada disini, tenggat-tenggat telah menanti di rumah kami. Dan kami harus mengucapkan selamat tinggal (untuk sementara). Setelah bersalaman dengan seluruh perangkat desa kami menaiki pick up yang akan mengantar kami ke bandar udara. Dan aku memposisikan diriku disisi yang tak mampu ku raih wajah-wajah itu. Tenggorokanku tercekat saat setelah pick up kami melaju dan lambaian itu menghlang dipersimpangan jalan. Semilir angin, rumah adat, hewan ternak, satu persatu kuingat-ingat dan mencoba mematri didalam ingatan. Tidak boleh lupa begitu tekadku. Semoga, aku tidak pernah melupakan semua ini. Selamat tinggal Wee Pangali, ku usahakan untuk kembali lagi suatu hari nanti.
.
.
.
Jika mungkin kamu penasaran dengan orang-orang hebat yang menginspirasiku dan menemani perjalananku, kau dapat membaca tulisan dari fasilitaor kami bit.ly/perjumpaanparajawara.

0

Buah Tangan Dari Sumba : Bagian Tiga


Rabu 25 April 2018,
            Pagi itu kami melaksanakan program kerja sekolah lingkungan bagi anak-anak sekolah dasar. Berdasarkan kesepakatan dengan bapak kepala desa, kami ditempatkan di SD M Puu Uppo Weepangali Sumba Barat Daya. Seharusnya hari ini kami mengajarkan adik-adik disana untuk praktik mengolah sampah botol menjadi tong sampah dan tempat pensil. Tapi, sialnya botol yang telah kami kumpulkan sejak berada di bandar udara Ngurah Rai tiba-tiba saja raib. Beberapa kebutuhan seperti cat lem dan lain sebagainya pun hari itu belum tersedia sebab susahnya mencari barang-barang tersebut di kota ini. Maka mau tak mau kami mensiasati semua program kerja di last hour kami. Kegiatan akhirnya kami sepakati bersama menjadi sosialisasi pemilahan sampah organik dan anorganik, pengertian reduce reuse recycle, serta pencontohan pemanfaatan botol menjadi bunga dan kaos bekas menjadi tote bag.

SD M Puu Uppo pagi itu begitu ramai. Anak-anak tingkat enam semua berbusana daerah, sedang melakukan ujian praktik. Beberapa anak membaur dengan kami, sisanya berada di sudut-sudut sekolah menghafalkan lagu-lagu daerah, atau merasa asing kepada kami. Seorang guru dengan membawa palu ditangan kanannya mengarahkan anak-anak tingkat tiga, empat, dan lima untuk menuju ruang aula yang seadanya. Tubuh-tubuh mungil, kaki-kaki kecil semuanya berjalan cepat-cepat dengan membawa bangku diangkat tinggi-tinggi diatas kepalanya. Beberapa bajunya lusuh, kaki-kakinya begitu tahan menahan tanah Sumba yang panas tanpa alas kaki, beberapa yang lain menggunakan sandal dan sepatu. Beberapa membawa tas, ada pula yang tidak. Ada yang hanya membawa satu buku saja. Dan disana aku merasa terenyuh, dengan segala keterbatasan mereka masih mempertahankan mimpinya. Memperjuangkan tajamnya intuisi dengan edukasi.

Proses program kerja kami cukup berhasil. Ramai sekali dan antusias anak-anak dalam belajar begitu tinggi. Ada satu hal yang membuat aku lebih terharu, saking terharunya aku sampai lupa menanyakan nama anak ini, pangeran kecil pecinta lingkungan kita. Ketika aku menanti kawanku menjemput aku untuk kembali ke posko, aku sedang bercengkrama dengan Dell si juara kelas yang ingin menjadi dokter, Astri sicantik yang ingin menjadi suster, juga Tami yang suka makan. Tiba-tiba seorang anak lelaki kecil dengan menggebunya menghampiriku lalu mengadu seperti ini, “Kakak kakak ada yang buang sampah sembarangan sana, itu sana minum v*ta tadi, tadi kami sudah marah tadi tapi tetap masih buang” Kau tau rasanya senang sekali, apa yang kami sampaikan tertanam pada seorang laki-laki cilik yang begitu peduli. Semoga saja terus begini sampai besar nanti dik. Kamu cerdas.

          
  Sesampainya diposko, kami melanjutkan membuat plang dengan membuat cetakan-cetakan huruf, selain itu kami juga membuat tong sampah daur ulang dari botol untuk rumah baca yang kami siasati menjadi tong sampah daur ulang dari tempat minum plastik, sampah yang dihasilkan dari program kerja kawan-kawan divisi kesehatan. Kami juga membuat hiasan dari sisa-sisa botol yang kami miliki. Botol-botol itu kami jadikan menjadi bentuk bunga dan gurita untuk dijadikan gantungan.

            Sore hari kami diajak oleh mama dan papa desa Weepangali untuk belajar menari tarian ronggeng dan wolek. Tarian yang biasa disuguhkan ketika menyambut tamu atau acara-acara lainnya. Kami menari hingga matahari tergelincir,menyenangkan sekali. Setelah itu kami kembali lagi pada persiapan program kerja kami. Dan malam hari aku memilih untuk tidur lebih awal. Diiringi lagu Laskar Pelangi. Aku teringat sore tadi menemui sebuah senyum yang begitu lebar. Menggangguku, sebab memunculkan ingatanku pada seseorang yang terpisahkan oleh satu zona waktu, yang aku harap akan terlupa setelah aku menginjakan kaki ditempat ini. Jika senyum itu terus ada, aku bisa jadi menyembuhkan rasa padamu senja(ku) yang bijaksana. Tapi, ketika senyum itu hadir, seseorang pertama yang aku ingat malah kamu senja. Aku, rindu.
0