Mei 02, 2018

Sudut Pandang : Waktu Itu


Sore itu aku tiba di bagian timur ibu pertiwi,di bumi Marapu katanya, di atas tanah Sumba. Senja menyambut dengan hangat, hiruk pikuk tawa memenuhi Bandar udara Tambolaka. Rasanya masih ada suatu rasa yang mengganggu dalam diriku, ada ragu juga takjub sekaligus bangga, sebab bisa-bisanya aku menjadi satu diantara bagian orang-orang hebat yang terpilih. Karena, jujur saja,kalau kau mau tau. Sebelum aku memutuskan untuk meninggalkan tanah kelahiranku untuk berdiri di tempat ini, begitu banyak gunjingan. Semua mata bercakap seakan aku tak akan mampu. Seribu wajah terus kutemui. Senyum-senyum yang bisa dengan serta merta menghujam. Entah sudahlah, waktu ku terima semua itu tekadku kemudian menjadi bulat dan menjadi menggebu. Terserah apa kata mereka, mereka tak punya hak untuk menjatuhkan apa yang aku mau, mimpiku, citaku. Ini hidupku, bukan mereka yang mengatur. Ternyata Tuhan Menyetujui mauku, satu mimpiku untuk mengabdi di negeri ini ia kabulkan.

Semenjak aku memijakkan kakiku di tanah yang kaya budaya itu, aku paham akan ada cerita baru. Kisah baru dalam sisa umur dua puluh satuku. Aku harus siap menyisakan ruang dalam egoku untuk menerima orang-orang baru. Pemikiran-pemikiran yang berbeda, sikap yang beragam, serta sudut pandang yang tak sama. Menuntutku untuk kembali pada pelajaran masa lalu, bahwa semua yang ada tak selalu dapat aku genggam dengan egoisnya. Dan beruntungnya, aku ditemukan oleh kawan-kawan hebat dari berbagai sudut kota indah di Indonesia. Dengan pemikiran-pemikiran apik yang dengan mudahnya mampu menyatu dengan pemikiranku. Yah,meski saja tetap punya banyak waktu dan perdebatan kecil dalam menyatukan satu tuju.

Ditempat ini banyak sekali mengajarkanku tentang kehidupan yang nyata. Mengajari aku tentang betapa beruntungnya aku ditakdirkan seperti ini didalam kehidupan. Aku terlalu hidup dengan segala kecukupan. Dengan baiknya aku dapat melakukan hariku tanpa kekurangan, tapi tetap saja sering kali aku mengeluh untuk hal-hal yang masih bisa untuk disabarkan. Aku malu pada adik-adik yang tinggal di desa ini, mereka hidup dengan keterbatasan orang tua juga kerasnya kehidupan, seperti kebutuhan air yang harus membeli dahulu, baju seragam yang seadanya, alas kaki yang tak selalu mereka miliki, buku-buku terbatas untuk menunjang citanya, dan dengan semua itu masih saja mereka dengan giat dan gigih melangkahkan kaki menuju sekolah dengan segudang mimpi yang ingin sekali mereka wujudnkan.

Ditempat ini aku juga belajar untuk lebih baik diam dan terus bekerja ketimbang terlalu banyak cerita namun hanya menjadi wacana. Banyak yang bilang, diam adalah tak mau tau. Tapi,aku lebih memilih diam untuk mengamati dan mengambil tindakan terbaik sesuai persepsiku. Sudah dari dulu aku tak suka banyak bicara, apalagi belagak solutif dengan pemikiran yang wah serta menggunakan bahasa tinggi dan terdengar intelek, tapi ya hanya bicara saja. Sedang sepemahamanku masyarakat itu hanya mau hasil bukan pemikiran bertele-tele seperti orang kota. Entah,aku masih saja tak suka dengan seseorang yang tak memanusiakan orang lain. Bagiku, derajat seseorang pastilah sama. Semua orang butuh perlakuan yang baik dan lebih mementingkan kebutuhan bersama bukan egonya saja. Siapapun ia,setinggi apapun derajatnya, berapapun umurnya,dan apa saja alasannya.

Namun, dibalik itu semua hari-hariku begitu menyenangkan disini. Rasanya aku bagai menghilang sejenak dari kotaku yang istimewa. Hanya kedua orang tuaku juga salah satu sahabatku saja yang terus menghubungiku di tempat ini. Tak ada seribu wajah yang sering kali kuceritkan pada kalian. Aku menemukan siapa orang yang rindu dan dengan sabarnya menanti pesanku. Tak ada yang memberondongku dengan tenggat di berbagai lapis media sosial. Aku merasa hidup. 90% waktuku sudah kembali pada sosialisasi secara normal,bukan hanya didepan layar yang dengan anggunnya selalu bersinar dan memunculkan keindahan-keindahan fana, pencitraan abadi.

Aku menyadari satu hal, Tuhan sangat menyayangiku sehingga memberikan aku kesempatan untuk berdiri ditengah mayarakat desa Wee Pangali yang begitu hangat juga orang-orang hebat yang terlalu menginspirasiku. Kebaikannya akan selalu tertanam dalam hatiku. Penerimaan-penerimaan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Juga ingatan-ingatan bahagia yang mereka ciptakan sukses sekali menghapuskan rentetan duka sebelum aku memijakkan kaki di salah satu surga nusantara ini. Aku dan Wee Pangali kini sudah memiliki benang merah yang tak akan pernah putus. Apapun nanti yang terjadi, aku masih ingin kembali kesana, untuk mengenang masa ini. Juga untuk bercengkrama lagi dengan orang-orang yang telah menginspirasiku. Menaruh andil dalam pendewasaan diri. Aku bersyukur dan aku menyayangi orang-orang yang waktu itu mengisi lembar kisahku.

Semoga takdir membawa kita lekas bersua kembali


0

0 komentar :

Posting Komentar