Sore
itu aku tiba di bagian timur ibu pertiwi,di bumi Marapu katanya, di atas tanah
Sumba. Senja menyambut dengan hangat, hiruk pikuk tawa memenuhi Bandar udara
Tambolaka. Rasanya masih ada suatu rasa yang mengganggu dalam diriku, ada ragu
juga takjub sekaligus bangga, sebab bisa-bisanya aku menjadi satu diantara
bagian orang-orang hebat yang terpilih. Karena, jujur saja,kalau kau mau tau.
Sebelum aku memutuskan untuk meninggalkan tanah kelahiranku untuk berdiri di
tempat ini, begitu banyak gunjingan. Semua mata bercakap seakan aku tak akan
mampu. Seribu wajah terus kutemui. Senyum-senyum yang bisa dengan serta merta
menghujam. Entah sudahlah, waktu ku terima semua itu tekadku kemudian menjadi bulat
dan menjadi menggebu. Terserah apa kata mereka, mereka tak punya hak untuk
menjatuhkan apa yang aku mau, mimpiku, citaku. Ini hidupku, bukan mereka yang
mengatur. Ternyata Tuhan Menyetujui mauku, satu mimpiku untuk mengabdi di
negeri ini ia kabulkan.
Semenjak
aku memijakkan kakiku di tanah yang kaya budaya itu, aku paham akan ada cerita
baru. Kisah baru dalam sisa umur dua puluh satuku. Aku harus siap menyisakan
ruang dalam egoku untuk menerima orang-orang baru. Pemikiran-pemikiran yang
berbeda, sikap yang beragam, serta sudut pandang yang tak sama. Menuntutku
untuk kembali pada pelajaran masa lalu, bahwa semua yang ada tak selalu dapat aku
genggam dengan egoisnya. Dan beruntungnya, aku ditemukan oleh kawan-kawan hebat
dari berbagai sudut kota indah di Indonesia. Dengan pemikiran-pemikiran apik
yang dengan mudahnya mampu menyatu dengan pemikiranku. Yah,meski saja tetap
punya banyak waktu dan perdebatan kecil dalam menyatukan satu tuju.
Ditempat
ini banyak sekali mengajarkanku tentang kehidupan yang nyata. Mengajari aku
tentang betapa beruntungnya aku ditakdirkan seperti ini didalam kehidupan. Aku
terlalu hidup dengan segala kecukupan. Dengan baiknya aku dapat melakukan
hariku tanpa kekurangan, tapi tetap saja sering kali aku mengeluh untuk hal-hal
yang masih bisa untuk disabarkan. Aku malu pada adik-adik yang tinggal di desa
ini, mereka hidup dengan keterbatasan orang tua juga kerasnya kehidupan,
seperti kebutuhan air yang harus membeli dahulu, baju seragam yang seadanya,
alas kaki yang tak selalu mereka miliki, buku-buku terbatas untuk menunjang
citanya, dan dengan semua itu masih saja mereka dengan giat dan gigih
melangkahkan kaki menuju sekolah dengan segudang mimpi yang ingin sekali
mereka wujudnkan.
Ditempat
ini aku juga belajar untuk lebih baik diam dan terus bekerja ketimbang terlalu
banyak cerita namun hanya menjadi wacana. Banyak yang bilang, diam adalah tak mau
tau. Tapi,aku lebih memilih diam untuk mengamati dan mengambil tindakan terbaik
sesuai persepsiku. Sudah dari dulu aku tak suka banyak bicara, apalagi belagak
solutif dengan pemikiran yang wah serta menggunakan bahasa tinggi dan terdengar
intelek, tapi ya hanya bicara saja. Sedang sepemahamanku masyarakat itu hanya
mau hasil bukan pemikiran bertele-tele seperti orang kota. Entah,aku masih saja
tak suka dengan seseorang yang tak memanusiakan orang lain. Bagiku, derajat seseorang
pastilah sama. Semua orang butuh perlakuan yang baik dan lebih mementingkan
kebutuhan bersama bukan egonya saja. Siapapun ia,setinggi apapun derajatnya,
berapapun umurnya,dan apa saja alasannya.
Namun,
dibalik itu semua hari-hariku begitu menyenangkan disini. Rasanya aku bagai menghilang
sejenak dari kotaku yang istimewa. Hanya kedua orang tuaku juga salah satu
sahabatku saja yang terus menghubungiku di tempat ini. Tak ada seribu wajah
yang sering kali kuceritkan pada kalian. Aku menemukan siapa orang yang rindu
dan dengan sabarnya menanti pesanku. Tak ada yang memberondongku dengan tenggat
di berbagai lapis media sosial. Aku merasa hidup. 90% waktuku sudah kembali pada
sosialisasi secara normal,bukan hanya didepan layar yang dengan anggunnya
selalu bersinar dan memunculkan keindahan-keindahan fana, pencitraan abadi.
Aku
menyadari satu hal, Tuhan sangat menyayangiku sehingga memberikan aku
kesempatan untuk berdiri ditengah mayarakat desa Wee Pangali yang begitu hangat
juga orang-orang hebat yang terlalu menginspirasiku. Kebaikannya akan selalu
tertanam dalam hatiku. Penerimaan-penerimaan yang tak pernah kubayangkan
sebelumnya. Juga ingatan-ingatan bahagia yang mereka ciptakan sukses sekali
menghapuskan rentetan duka sebelum aku memijakkan kaki di salah satu surga
nusantara ini. Aku dan Wee Pangali kini sudah memiliki benang merah yang tak
akan pernah putus. Apapun nanti yang terjadi, aku masih ingin kembali kesana,
untuk mengenang masa ini. Juga untuk bercengkrama lagi dengan orang-orang yang
telah menginspirasiku. Menaruh andil dalam pendewasaan diri. Aku bersyukur dan
aku menyayangi orang-orang yang waktu itu mengisi lembar kisahku.
0 komentar :
Posting Komentar