Mei 06, 2018

Buah Tangan Dari Sumba : Bagian Lima, Sebuah Akhir dari Pengelabuhan


Sabtu 28 April 2018,
            Masih terasa haru dan sesak ketika kami sampai di bandar udara Tambolaka. Ada yang akan kami tinggalkan meski kita masih berada disini selama dua hari. Namun bagaimanapun semua harus pean-pelan dilepaskan, melepaskan sedih maksudku. Sebelum keberangkatanku kemari, aku sudah berjanji kepada beberapa temanku untuk melakukan perjalanan. Menghibur diri dengan menjajaki indahnya Sumba.

            Perjalanan pertama kami yaitu menuju pantai Mandorak dan danau Weekuri. Kami menuju wilayah tersebut menggunakan mobil. Jumlah kami cukup banyak, sehingga kami harus menyewa tiga mobil. Perjalanan menuju pantai tersebut tidak cukup mudah. Kami harus melewati pedalaman. Aku rasa itu suku pedalaman. Jalan yang kita lalui merupakan jalan sempit setapak yang disisi kanan kirinya berupa semak semak dan pohon-pohon. Beberapa rumah adat berdiri kokoh dengan jarak yang cukup jauh antar satu rumah dengan lainnya. Anak-anak kecil sesekali mengejar mobil kami dan meneriakan”kak minta uang, kak minta uang” yang lainnya lagi membantu orang tuanya mengambil air dari sumur dengan jerigen-jerigen, beberapa mama berkumpul dan bercengkrama diantaranya bahkan hanya mengenakan sarung untuk menutupi bagian bawah tubuhnya. Sepanjang jalan aku bahkan sering berhalusinasi, sepertinya,seluruh pohon yang aku lewati seperti memiliki wajah. Sosok lelaki. Aku berusaha tidur agar tidak melihat kearah keluar jendela. Namun tak lama setelah aku mampu mengalihkan pikiranku, tiba –tiba kami di berhentikan oleh segerombolan lelaki. Yah, singkat cerita kami terkena pungli yang mau tak mau harus kita iyakan agar kami selamat.

            Dan perjalanan kami terbayarkan dengan keindahan pantai Mandorak yang airnya begitu biru. Karangnya cukup tajam tapi begitu indah, seperti sebuah perumpamaan bahwa yang indah pastilah harus menyakitkan dahulu. Begitu juga dengan danau Weekuri yang sejatinya merupakan sebuah Lagoon, biru hijau. Semua terlihat bahagia disini. Beberapa orang-orang menjajakan kain tenun sumba dan kelapa muda. Oh iya, benar kata orang. Kelapa muda Sumba begitu menyegarkan. Aku ingin berlama-lama seperti ini, menikmati sudut lain tanah air dengan damai.

Setelah itu kami menuju ke desa adat Ratenggaro, indah sekali sebuah desa dipesisir pantai. Sebuah kisah lucu disini, anak-anak Sumba yang masih sedikit edukasinya masih diberi pemahaman untuk meminta-minta pada para wisatawan. Dan ada saja akalnya selain hanya mengajak berkenalan lalu menjual sesuatu dengan paksa atau to the point dengan meminta uang untuk membeli buku. Siang itu ketika kami berfoto diatas karang seorang anak kecil menghampiri kami dan berkata pada seorang kawanku “Kakak, pamali tidak boleh menaiki karang. Karang itu sebenarnya buaya. Pamali kakak” katanya meyakinkan. Kawanku berkata,”hah, terus bagaimana adik sudah terlanjur?” katanya was was. “Kakak harus kasih uang kakak, kalau tidak kalau kakak kemari lagi,barang kakak ada yang hilang”, katanya lagi. Lalu aku dan kawan-kawanku menahan tawa dan meninggalkan si adik yang terus mengikuti kami dan meyakinkan salah satu kawanku. Setelah dari Ratenggaro kami melanjutkan perjalanan menuju Sumba Timur. Di tengah perjalanan kami berhenti sebentar dikota untuk makan. Dan ketika makan, hal yang paling membuatku sejuk adalah untuk pertama kalinya aku mendengar suara adzan di Sumba dari masjid terdekat.

Minggu 29 April 2018,
Kami tiba di hotel sudah hampir tengah malam setelah lebih dari dua jam perjalanan. Melalui jalanan gelap,hutan yang katanya banyak perampas hutan, dan jalanan yang berkelak-kelok dan naik turun. Setelah kami membersihkan diri kami beistirahat untuk melanjutkan perjalanan menuju bukit Wairinding paginya.

Paginya kami menuju bukit Wairinding, jalan yang dilalui rupanya sama dengan perjalanan semalam. Waktu ku amati, jalanan disini seperti jalan yang dibuat setelah membelah bukit. Struktur tanahnya seperti batuan kapur juga terdapat  karang-karang. Jika kita melihat kearah kanan dan kiri semuanya adalah bukit dan sabana. Indah sekali.

Sesampainya di bukit Wairinding, dibawah terik matahari kami menaiki jalanan yang menanjak. Sedikit melelahkan tapi semua terbayar dengan bukit Wairinding yang katanya bikin merinding. Ternyata tidak hanya katanya, aku merinding dengan ciptaan Tuhan ini. Sepertinya Tuhan sedang senang saat menciptkan bukit Wairinding. Angin yang kencang bau rerumputan dan hamparan bukit-bukit indah yang tertata rapi. Setelah itu kami menuju bukit Persaudaraan yang banyak sekali terdapat kuda yang sedang merumput. Dari bukit ini kami juga dapat melihat laut dan disisi lainnya dapat melihat sawah terhampar. Diperjalanan kami juga melewati bukit Raksasa Tertidur. Betul betul seperti raksasa yang tertidur. Ah,bagus sekali.

Setelah menjelajahi bukit-bukit yang indah, kami berencana melanjutkan perjalanan menuju pantai Walakiri yang sunsetnya begitu indah. Dalam perjalanan kami mampir dahulu ke suatu rumah tenun, disana aku melihat begitu banyak keindahan tenun Sumba Timur.Harganya lebih tinggi memang dibandingkan yang dijual di pasar, hotel, dan tempat wisata. Namun kualitasnya memang tidak diragukan lagi, kainnya halus, pewarnanya pun juga alami. Yang indah dari tenun Sumba adalah, setiap tenunan punya cerita,meskipun aku tak hafal bagaimana cerita dari setiap kain aku selalu mengagumi setiap corak juga warnanya. Seselesainya kami dari rumah tenun, kami menuju pasar yang tak jauh dari sana.Kami membeli buah tangan yang mampu kami beli,ikat, kain, sarung, ataupun sisa sisa kopi yang belum terjual.

            Kami melanjutkan perjalanan menuju pantai Walakiri. Sesampainya disana kami disuguhkan dengan hiruk-pikuk suka cita wisatawan. Pasir pantai yang putih dan sangat halus, bintang laut yang berada dimana-mana, juga sisa-sisa cangkang kerang yang ditinggalkan penghuninya. Disatu sudut tumbuh dengan kokoh tanaman bakau. Aku duduk di pinggir pantai menanti matahari sedikit tergelincir lagi. Setelah matahari berada pada tempat yang pas menurutku, aku berjalan menuju pepohonan bakau. Benar benar, langit Sumba adalah rumah terbaik bagi senja. Indah sekali, syahdu didalam sanubari. Senja yang emas, jingga, merah muda, indah sekali.

Malam harinya ketika perjalanan pulang, sial sekali aku bermimpi dihadang oleh lelaki dengan parang. Memalukan sekali hingga aku dibangunkan oleh temanku karna aku mengigau. Untuk beberapa menit aku terjaga dan bertekad untuk tidak tertidur selama melewati hutan yang memang sangat rawan jika dimalam hari. Tapi rupanya kantukku lebih berat. Entah berapa lama aku tertidur selama perjalanan, tapi aku sempat bangun ketika Kak Peter,driver kami keluar mobil dan mengecek ban belakang mobil kami. Dan kemudian terbangun kembali karena kak Peter membanting pintu mobil untuk menemui driver mobil lainnya dan beberapa penduduk sekitar. Sayup-sayup aku mendengar “Sa sudah feeling kita diikuti dari tadi dengan motor itu”, “iya motor itu sudah dibelakang mengikuti kita dari masuk hutan, bawa parang itu” katanya kemudian dengan dilanjutkan dengan percakapan bahasa daerah yang kurang aku pahami. Iya aku gemetar terlebih ketika kak Peter kembali ke dalam mobil dan berkata “Hampir saja tadi kita kena, untung bisa lolos kalau tidak sudah mati kita” oh Tuhaaaan. Aku merinding sebab jumlah orang,kendaraan yang ia pakai, dan parang. Semua sama persis seperti apa yang ada didalam mimpiku dan dengan santainya kami semua yang berada dimobil tertidur dengan pulasnya. Yah, setidaknya kami bersyukur kami masih selamat.Disisa perjalanan menuju Tambolaka kami habiskan dengan doa doa agar kami selamat sampai hotel dan mempersiapkan kepulangan kami esoknya.

Senin 30 April 2018,
Hari ini adalah kepulangan kami. Pulang yang benar-benar pulang menjumpai rutinitas yang sedang kita kelabuhi. Salah satu kawanku yang cukup menginspirasiku, yang sedang berkuliah di institusi ternama di Malang tiba-tiba bercerita kepadaku, bapa Yoseph disuatu malam bercerita kepada kawan-kawan yang masih menginap di Wee Pangali, katanya dengan mata yang sembab, “Kemungkinan kita bertemu lagi itu sudah hampir tidak ada. Kalaupun kalian kemari lagi, belum tentu kita masih dapat bertemu. Kemungkinannya sangat kecil” Membuatku berpikir kembali menuju Wee Pangali dan secara tak sadar mengiyakan kata-kata bapa Yoseph.

Semenjak pesawat lepas landas, aku terus merenung. Sumba, kita benar-benar berpisah hari ini. Aku sudah berada di Bali pagi tadi, dan sore ini aku harus kembali ke Yogyakarta. Iya kita benar-benar terpisah antar pulau, samudra membentang luas, dan juga zona waktu kita sudah berbeda. Aku juga menyadari satu hal, Suatu keterbatasan rupanya adalah emas yang masih tersimpan rapi, menanti pemuda-pemuda tangguh dan hebat untuk membukanya, menjadikannya ladang-ladang gersang menjadi subur menumbuhkan kembali asa yang sekian lama terkubur. Memuliakan pertiwi menuruskan dan mewujudkan asa. Dan setiap garis waktu bergulir, rupanya konstelasi akan bertambah, meluas. Mengingat setiap hal dengan benang merah yang katanya sakral. Dan menyatukan semua itu menjadi gumpalan rindu. Wee Pangali, Sumba, dan semua yang terkait didalamnya. Nama kalian akan abadi dalam tulisan ini. Dan juga hatiku. 

Terimakasih sudah mengukir cerita dalam hidupku.

0

Buah Tangan Dari Sumba : Bagian Empat


Kamis 26 April 2018,
            Pagi kami dimulai dengan menyelesaikan tong sampah kami dan hiasan botol. Lem dimana-mana, aromanya sesekali membuat kami pusing, ini sisi serunya. Kami juga saling bertukar cerita hingga banyak tawa yang kami ciptakan. Hingga teman-teman divisi ekonomi memberi kode kepada kami untuk mengisi pogram sekolah lingkungan berupa praktik membuat tote bag dari kaos bekas yang sudah kami rencanakan semalam untu berkolaborasi antar dua divisi.

            Pada program kerja ini, kami merasa miris sedih dan geli akibat prediksi kami dua hari yang lalu terpampang nyata dihadapan kami. Setelah kami melihat lokasi pengabdian kami dan menilik kaos bekas yang kami miliki, kami sama-sama merasa baju bekas kami jauh lebih layak dikatakan sebagai bekas ditempat ini. Dan benar saja, kejadian menggelikan pertama terjadi kemarin di SD M Puu Uppo, seorang adik kecil meneriaki kami ketika kami mempraktikkan pembuatan tas pengganti kantong plastik itu, katanya “Potong terus kakak,potong saja terus itu baju bagus. Potong terus!” dengan lantang dan dialek yang khas. Dan hari ini giliran mama Arsel yang buka suara katanya begini,”Sudah anak, satu saja yang dijadikan contoh. Jangan lagi dipotong-potong itu baju. Buat mama saja,mama bawa pulang” hahaha, astaga dan kami tak mampu berkata apa-apa.

Setelah agenda tersebut selesai,kami bergegas menuju rumah baca untuk mulai mengecat hiasan bunga dan gurita yang sudah kami buat. Kami mengerjakan bersama dengan adik-adik yang baru saja pulang dari sekolah. Seru sekali, antusias mereka sangat tinggi. Beberapa meminta diajarkan untuk membuatnya. Dan yang lain lagi sibuk mewarnai dan bercanda dengan kawan-kawannya yang lain. Hari itu aku bertemu dengan seorang anak bernama Oncu,lucu sekali dia bisa menirukan suara kucing yang sedang bertengkar dengan sangat mirip, ada juga Deo bocah kecil yang pendiam, Nice yang mengatakanku sebagai orang kaya hanya karena memakai jam tangan, dan sejak itu aku melepas jam tanganku jika aku bermain keluar, juga Ilmi gadis cilik yang ingin jadi suster yang setelah kami berkenalan kami selalu dekat.

Jumat 27 April 2018,
            Pagi-pagi sekali kami yang sudah bangun mulai menuju ke rumah baca. Kami menyelesaikan mengecat plang dan membantu teman-teman divisi pendidikan mengecat rumah baca. Sebuah bangunan tua yang tidak terpakai di sisi balai desa yang kami sulap menjadi perpustakaan bagi adik-adik dan masyarakat disana. Semoga terus menjadi gudang ilmu bagi kalian, saudaraku. Antusiasme anak-anak disana semakin tinggi. Beberapa bahkan membawa sepedanya untuk di cat ulang. Papa papa desa juga membantu kami mengecat rumah baca dan membuatkan pintu dan jendela.

Disisi lain kawan-kawan kami yang sudah selesai melakukan program kerja membantu para mama mama desa untuk memasak. Perpisahan desa akan dilakukan sore nanti. Sedih rasanya,kenapa cepat sekali.Pesta kecil-kecilan itu dilakukan dengan menyembelih kambing paginya. Dan kini mama-mama desa dan salah satu koki hebat kita sedang memasak didepan posko kami. Dengan tungku yang dibuat sendiri. Begitu hangat melihat kebersamaan itu.

Sore hari sudah datang, kami semua berkumpul di balai desa. Jika mengingat hari itu kembali, aku begitu terharu dan sedih. Iya, suasana sore itu begitu emosional, ditambah lagi hujan datang meski sebentar seperti mengantar kami menuju perpisahan. Kata terimakasih maaf semua menimbulkan tetes tetes air mata. Bahkan aku tak mampu berkata banyak saking sakitnya tenggorokanku menahan tangis. Begitu banyak kebaikan yang diberikan oleh masyarakat Wee Pangali dan kami masih hanya bisa memberikan hal yang sedikit. Dan disini kami hanya dapat berdoa, semoga apa yang kami beri akan selalu membekas dan menjadi inspirasi bagi masyarakat disana. Semoga membangunkan asa bukannya memutus mimpi. Sebab apa yang kami beri, rasanya masih sedikit untuk menggantikan keramahtamahan Wee Pangali. Setelah suasana haru itu, kami makan bersama dan melakukan pesta perpisahan kecil-kecilan. Ada perlombaan menyanyi,menari, juga berpuisi.

Dan yang paling menyedihkan adalah dua orang gadis kecil menghampiriku, yang satu berkata”Setelah kakak pulang, kapan kakak ke Sumba lagi? Kakak Meita, jangan lupakan Archen ya?” yang satunya lagi bernama Iky berkata “Kakak sudah, kakak Meita jangan menangis. Kak, sudah jangan menangis ya. Tersenyum” katanya sambil menggenggam tanganku. Aku terharu. Bagaimana aku tak boleh menangis gadis manis?

Sabtu 28 April 2018,
05.30 WITA, kami mau tak mau harus segera melakukan perjalanan menuju bandar udara Tambolaka. Sejak semalam seluruh perangkat desa menemani kami hingga larut. Banyak perbincangan seperti tak ada hari esok lagi untuk bertemu. Bahkan agar tak terlambat melepas kami, seluruh perangkat desa pun ikut tidur dipelataran balai desa. Aku yang melewati para papa saat subuh tadi merasa haru. Sebegini perjuangan mereka. Aku sedih sebab hari ini harus mengendurkan benang merah yang sudah kami rajut.

Tapi setiap perjumpaan pasti selalu ada perpisahan. Kami juga tak bisa selamanya berada disini, tenggat-tenggat telah menanti di rumah kami. Dan kami harus mengucapkan selamat tinggal (untuk sementara). Setelah bersalaman dengan seluruh perangkat desa kami menaiki pick up yang akan mengantar kami ke bandar udara. Dan aku memposisikan diriku disisi yang tak mampu ku raih wajah-wajah itu. Tenggorokanku tercekat saat setelah pick up kami melaju dan lambaian itu menghlang dipersimpangan jalan. Semilir angin, rumah adat, hewan ternak, satu persatu kuingat-ingat dan mencoba mematri didalam ingatan. Tidak boleh lupa begitu tekadku. Semoga, aku tidak pernah melupakan semua ini. Selamat tinggal Wee Pangali, ku usahakan untuk kembali lagi suatu hari nanti.
.
.
.
Jika mungkin kamu penasaran dengan orang-orang hebat yang menginspirasiku dan menemani perjalananku, kau dapat membaca tulisan dari fasilitaor kami bit.ly/perjumpaanparajawara.

0

Buah Tangan Dari Sumba : Bagian Tiga


Rabu 25 April 2018,
            Pagi itu kami melaksanakan program kerja sekolah lingkungan bagi anak-anak sekolah dasar. Berdasarkan kesepakatan dengan bapak kepala desa, kami ditempatkan di SD M Puu Uppo Weepangali Sumba Barat Daya. Seharusnya hari ini kami mengajarkan adik-adik disana untuk praktik mengolah sampah botol menjadi tong sampah dan tempat pensil. Tapi, sialnya botol yang telah kami kumpulkan sejak berada di bandar udara Ngurah Rai tiba-tiba saja raib. Beberapa kebutuhan seperti cat lem dan lain sebagainya pun hari itu belum tersedia sebab susahnya mencari barang-barang tersebut di kota ini. Maka mau tak mau kami mensiasati semua program kerja di last hour kami. Kegiatan akhirnya kami sepakati bersama menjadi sosialisasi pemilahan sampah organik dan anorganik, pengertian reduce reuse recycle, serta pencontohan pemanfaatan botol menjadi bunga dan kaos bekas menjadi tote bag.

SD M Puu Uppo pagi itu begitu ramai. Anak-anak tingkat enam semua berbusana daerah, sedang melakukan ujian praktik. Beberapa anak membaur dengan kami, sisanya berada di sudut-sudut sekolah menghafalkan lagu-lagu daerah, atau merasa asing kepada kami. Seorang guru dengan membawa palu ditangan kanannya mengarahkan anak-anak tingkat tiga, empat, dan lima untuk menuju ruang aula yang seadanya. Tubuh-tubuh mungil, kaki-kaki kecil semuanya berjalan cepat-cepat dengan membawa bangku diangkat tinggi-tinggi diatas kepalanya. Beberapa bajunya lusuh, kaki-kakinya begitu tahan menahan tanah Sumba yang panas tanpa alas kaki, beberapa yang lain menggunakan sandal dan sepatu. Beberapa membawa tas, ada pula yang tidak. Ada yang hanya membawa satu buku saja. Dan disana aku merasa terenyuh, dengan segala keterbatasan mereka masih mempertahankan mimpinya. Memperjuangkan tajamnya intuisi dengan edukasi.

Proses program kerja kami cukup berhasil. Ramai sekali dan antusias anak-anak dalam belajar begitu tinggi. Ada satu hal yang membuat aku lebih terharu, saking terharunya aku sampai lupa menanyakan nama anak ini, pangeran kecil pecinta lingkungan kita. Ketika aku menanti kawanku menjemput aku untuk kembali ke posko, aku sedang bercengkrama dengan Dell si juara kelas yang ingin menjadi dokter, Astri sicantik yang ingin menjadi suster, juga Tami yang suka makan. Tiba-tiba seorang anak lelaki kecil dengan menggebunya menghampiriku lalu mengadu seperti ini, “Kakak kakak ada yang buang sampah sembarangan sana, itu sana minum v*ta tadi, tadi kami sudah marah tadi tapi tetap masih buang” Kau tau rasanya senang sekali, apa yang kami sampaikan tertanam pada seorang laki-laki cilik yang begitu peduli. Semoga saja terus begini sampai besar nanti dik. Kamu cerdas.

          
  Sesampainya diposko, kami melanjutkan membuat plang dengan membuat cetakan-cetakan huruf, selain itu kami juga membuat tong sampah daur ulang dari botol untuk rumah baca yang kami siasati menjadi tong sampah daur ulang dari tempat minum plastik, sampah yang dihasilkan dari program kerja kawan-kawan divisi kesehatan. Kami juga membuat hiasan dari sisa-sisa botol yang kami miliki. Botol-botol itu kami jadikan menjadi bentuk bunga dan gurita untuk dijadikan gantungan.

            Sore hari kami diajak oleh mama dan papa desa Weepangali untuk belajar menari tarian ronggeng dan wolek. Tarian yang biasa disuguhkan ketika menyambut tamu atau acara-acara lainnya. Kami menari hingga matahari tergelincir,menyenangkan sekali. Setelah itu kami kembali lagi pada persiapan program kerja kami. Dan malam hari aku memilih untuk tidur lebih awal. Diiringi lagu Laskar Pelangi. Aku teringat sore tadi menemui sebuah senyum yang begitu lebar. Menggangguku, sebab memunculkan ingatanku pada seseorang yang terpisahkan oleh satu zona waktu, yang aku harap akan terlupa setelah aku menginjakan kaki ditempat ini. Jika senyum itu terus ada, aku bisa jadi menyembuhkan rasa padamu senja(ku) yang bijaksana. Tapi, ketika senyum itu hadir, seseorang pertama yang aku ingat malah kamu senja. Aku, rindu.
0

Mei 05, 2018

Buah Tangan Dari Sumba : Bagian Dua


Selasa 24 April 2018,
            Jam menunjukan pukul empat bagian waktu Indonesia tengah ketika aku terbangun, tidurku sedikit kurang nyaman sebab sudah lama tidak tidur dengan hanya beralaskan tikar dan sleeping bag. Aku menengok waktu subuh, dan memutuskan untuk tidur lagi sejenak. Sekitar tiga puluh menit kemudian aku terbangun lagi dan berniat untuk mengambil air wudhu, beberapa kawan-kawanku sudah terlebih dahulu bangun dan berjalan menuju puskesmas pembantu yang berjarak dua rumah untuk mengambil air wudhu atau mandi. Di wilayah kami mengabdi, air memang susah ditemukan. Wilayahnya merupakan bebatuan, sungai-sungai disekitarnya pun kering. Solusinya masih membeli air dan dimasukkan kedalam tangki air. Beberapa masyarakat juga menyediakan drum-drum disekitar rumahnya, harapan mereka jika hujan turun akan tertampung dan menjadi persediaan air.

            Mentari pagi menyapa, kami sudah bersiap menggunakan kaos identitas untuk menjalankan agenda hari ini. Pukul sembilan kami sudah diharapkan datang dibalai desa untuk perkenalan diri, serta memaparkan program-program kerja yang akan kami laksanakan. Sembari menanti kedatangan para perangkat desa, aku dan kawan-kawanku menyapa anak-anak SMP yang sedang menanti ujian nasional. Letak sekolahnya juga sangat dekat dengan posko kami, sehingga tidak ada kekhawatiran jika kami terlambat menghadiri agenda di balai desa. Kami banyak bertukar cerita tentang tanah kelahiran juga cita-cita.

            Tiga puluh menit berlalu, kami sudah berada di dalam kantor balai desa. Kegiatan pertama berupa sambutan perangkat desa, kemudian perkenalan antara kami dan para perangkat desa. Satu yang aku amati, disini, kepala dusun, RT, dan RW selalu menggunakan pakaian adat dalam kesehariannya, menggunakan ikat kepala, sarung kain daerah, dan parang disematkan dipinggangnya. Menambah gagah serta karisma pengayom bagi masyarakat sekitar. Setelah perkenalan selesai, kami melanjutkan pemaparan diskusi tentang program kerja yang akan kami lakukan. Didalam tim kami, terdapat empat divisi yaitu divisi pendidikan, divisi kesehatan, divisi ekonomi, serta divisi lingkungan. Dan aku berada didalam divisi lingkungan, beberapa program yang kami divisi lingkungan akan lakukan yaitu sekolah lingkungan dan bina desa.

Sore hari selepas kegiatan juga survey pemetaan lapangan, kami didatangi oleh adik-adik desa Weepangali ketika akan membeli minuman ringan didekat puskesmas pembantu. Anak-anak yang paling aku ingat bernama Archen, Evelyn, Sarti, dan Arlan. Mereka mengajak kami pergi menuju bukit Rangge, katanya hanya sekitar lima belas menit untuk sampai disana dengan jalan kaki. Kami menurutinya, sepanjang perjalanan menuju bukit Rangge aku begitu terpana dengan keasrian desa ini, halamannya hijau-hijau, pohon kelapa menjulang dimana-mana, hewan ternak berupa kuda,kerbau, kambing, dan babi di halaman menemani sore hari pemilik rumah yang bersantai diteras, beberapa rumah adat masih kokoh berdiri didesa ini, kata Mama Arsel, seorang ibu di desa ini yang ikut menemani kami ditengah perjalanan menuju bukit, Rumah adat sumba itu terdiri dari tiga tingkat. Tingkat pertama untuk hewan ternak, tingkat kedua untuk tempat tinggal, dan tingkat ketiga atau tingkat teratas untuk menyimpan makanan.

Hari semakin sore, kami mulai memasuki kawasan bukit. Jalannya mulai menanjak, beberapa tanahnya berupa lumpur meski hampir sepanjang perjalanan yang aku amati selalu tanah dan bebatuan, dikanan kiri jalan setapak tampak tanaman jagung atau kacang hijau dan kacang merah. Kami banyak menghabiskan waktu perjalanan dengan bercerita dengan anak-anak serta mama Arsel. Sesampainya dipuncak salah satu bukit aku terkagum-kagum. Indah sekali karya Tuhan ini. Bukit-bukit terhampar didepan mataku, warnanya hijau keemasan diterpa sinar jingga. Kalau boleh kukatakan, untuk saat ini,ku nobatkan langit Sumba sebagai rumah terbaik bagi senja. “Kakak, coba liat itu. Yang dibawah itu gereja,kami biasa kesana. Dan dibelakangnya itu laut kakak. Kalau yang disebelah sana itu bandara” kata Evelyn menunjuk kedua arah yang berbeda, membuatku semakin takjub. Suara tawa anak-anak, dua orang mama yang asik bercengkrama sembari mengunyah sirih pinang, senyum manis penjuang yang merelakan pergi sejenak dari kehidupan kota, sinar emas yang menerpa padang rumput dan gubuk-gubuk, angin yang mengiringi rerumputan berdansa diatas punggung bukit rangge. Aku, rindu.

Malam harinya, setelah melakukan evaluasi harian, setiap divisi melakukan persiapan untuk program kerja esok harinya. Beberapa dari kami kemudian membakar sampah didepan posko kami. Biar kukelabuhi ini sebagai api unggun. Diiringi oleh tawa kami dan anak-anak desa juga alunan gitar musisi kebanggan kita dengan lagu-lagu yang bergonta-ganti, Jadilah Legenda, Sahabat Kecil, Percuma Beta Susah di Rantau, Sayang. Ah menyenangkan sekali malam itu, ditambah lagi dengan bintang-bintang yang bertaburan sangat banyak dan sinar bulan yang hampir purnama, terang sekali.

0

Buah Tangan Dari Sumba : Bagian Satu


Sembilan kali langit telah berubah-ubah warna, menjadi saksi dimana aku membulatkan tekadku untuk berkelana,mewujudkan satu impiku yang sedari dulu hanya aku bayang-bayangkan dalam awang. Menjalani hari-hari baruku dengan meninggalkan aktivitas rutin yang mengikat. Meski sejenak, setidaknya mampu memberi warna baru untuk monotonisme hidupku.

Hari-hari menyenangkan kulalui, hingga akhirnya aku harus bertemu kembali dengan tenggat-tenggat yang telah menantiku. Sebelum aku kembali pada hariku, maka kuberikan buah tangan dari perjalanan baruku. Sebagai wujud syukur juga bentuk pangabadian ceritaku. Tidak untuk membuat terkesan, jika memang kau sempat bacalah kisah perjalananku dibulan keempat lalu.

Minggu 22 April 2018,
            Aku tiba di pulau Dewata, bertemu dengan seorang kawan baru, seseorang yang sangat baik berwajah ayu dan berhati lembut. Tidak hanya itu, sore hari kami pergi menyusuri pantai Kuta yang tak pernah mati. Disana, aku bertemu lagi dengan kawan-kawan baru lainnya yang sama-sama akan mengelabuhi tenggat dengan sebuah misi kemanusiaan. Senja itu kami habiskan dengan sebuah cengkrama hangat.

Senin 23 April 2018,
Bandar udara Ngurah Rai,
            Hiruk pikuk baru, sebuah ego sadar untuk diturunkan. Bertemu dengan wajah-wajah baru, nama-nama baru. Jalinan baru, membuat simpul ikatan-ikatan anyar. Bertukar fikiran juga pengalaman sembari menanti pesawat kami terbang menuju bumi Marapu. Berbagai latar belakang sempat membuatku ciut. Kau tau, mereka adalah orang-orang hebat, intitusinya tak diragukan cara bicaranya begitu mengagumkan, gaya bahasanya tertata dan aku merasa hanya sebuah serpih yang mengira-ira “aku sedang tidak mimpikan ini?”

            Dan sebelum lepas landas dari pulau seribu pura, aku paham dan aku sengaja untuk sedikit membatasi komuniasiku menggunakan internet. Aku sempat resah hingga mencari suatu merk kartu perdana agar aku dapat menghubungi orang-orang dikota istimewaku. Tapi sepertinya alam semesta tidak berpihak kepadaku, hingga satu jam keberangkatanku aku bahkan tak menemuninya, yasudah nikmati saja. Mungkin sesekali butuh terputus dengan segala media sosial agar benar-benar tenang.

Bandar udara Tambolaka,
Bandar udara Tambolaka saat itu begitu tenang. Hanya satu pesawat kami saja yang mendarat. Tidak seperti kebanyakan bandar udara yang ramai, Tambolaka begitu syahdu dengan jingga matahari yang menelusup tiang-tiang kokoh tiap sudut bangunan. Kami bergegas mengambil barang-barang pribadi juga donasi yang telah kita siapkan. Lalu kami berangkat menuju lokasi pengabdian kami selama lima hari kedepan.

Desa Weepangali, Sumba Barat Daya
            Semilir angin sore menemaniku yang masih saja diam diatas pick up yang mengantarkan kami, sebongkah tekad ku bulatkan meski beberapa kali aku masih merasa asing diantara kumpulan tawa juga orang-orang asing yang tak pernah aku bayangkan akan menjadi keluarga kesekian dari konstelasi yang berbeda. Aku mengamati setiap sudut perjalanan dengan sebuah rasa kagum juga tanya yang begitu besar. Aku kagum dengan langit sumba yang sangat indah untuk menjadi rumah senja. Dan benakku sibuk bertanya-tanya dengan segala keterbatasan tempat-tempat yang aku lalui.

            Pick up kami berhenti didepan suatu bangunan sederhana. Terdapat plang kayu berwarna putih yang dimakan rayap dibagian kakinya bersandar ditubuh dinding bercat kuning, balai desa. Kami turun satu persatu dari pick up yang membawa kami. Aku melihat banyak warga desa sudah bersiap-siap menyambut kami. Senyum cantik dari bibir-bibir merah bekas sirih pinang itu satu persatu merekah. Suara alunan musik daerah mulai terdengar. Anak-anak perempuan dan dua anak laki-laki mulai bergoyang mengikuti irama menarikan tarian ronggeng dan wolek. Ibu-ibu dengan suka cita bersorak-sorai akan kedatangan kami,bapak-bapak yang mendengarnya semakin bersemangat menabuh alat-alat musik. Tubuhku gemetar, sekujur tubuhku merinding. Aku terharu, sebegininya mereka menyambut kami,pikirku.

            Setelah sambutan hangat bapak kepala desa beserta seluruh perangkat desa lainnya, kami mempersiapkan diri untuk beristirahat, kami disediakan dua ruangan disamping balai desa untuk bermalam. Ruangan yang cukup nyaman dengan dua jendela yang cukup besar,meskipun sedikit gerah didalamnya, untuk malam hari kami tidak dianjurkan untuk membuka jendela, banyak ular pohon katanya. Diatas tikar rotan yang beberapa kali kami bersihkan dari ulat kaki seribu atau yang biasa di sebut masyarakat jawa sebagai luwing dan di dalam sleeping bag hitamku, dengan alunan lolongan anjing anjing milik warga sekitar, kami terlelap dan bersiap melanjutkan hari esok.
0

Mei 02, 2018

Sudut Pandang : Waktu Itu


Sore itu aku tiba di bagian timur ibu pertiwi,di bumi Marapu katanya, di atas tanah Sumba. Senja menyambut dengan hangat, hiruk pikuk tawa memenuhi Bandar udara Tambolaka. Rasanya masih ada suatu rasa yang mengganggu dalam diriku, ada ragu juga takjub sekaligus bangga, sebab bisa-bisanya aku menjadi satu diantara bagian orang-orang hebat yang terpilih. Karena, jujur saja,kalau kau mau tau. Sebelum aku memutuskan untuk meninggalkan tanah kelahiranku untuk berdiri di tempat ini, begitu banyak gunjingan. Semua mata bercakap seakan aku tak akan mampu. Seribu wajah terus kutemui. Senyum-senyum yang bisa dengan serta merta menghujam. Entah sudahlah, waktu ku terima semua itu tekadku kemudian menjadi bulat dan menjadi menggebu. Terserah apa kata mereka, mereka tak punya hak untuk menjatuhkan apa yang aku mau, mimpiku, citaku. Ini hidupku, bukan mereka yang mengatur. Ternyata Tuhan Menyetujui mauku, satu mimpiku untuk mengabdi di negeri ini ia kabulkan.

Semenjak aku memijakkan kakiku di tanah yang kaya budaya itu, aku paham akan ada cerita baru. Kisah baru dalam sisa umur dua puluh satuku. Aku harus siap menyisakan ruang dalam egoku untuk menerima orang-orang baru. Pemikiran-pemikiran yang berbeda, sikap yang beragam, serta sudut pandang yang tak sama. Menuntutku untuk kembali pada pelajaran masa lalu, bahwa semua yang ada tak selalu dapat aku genggam dengan egoisnya. Dan beruntungnya, aku ditemukan oleh kawan-kawan hebat dari berbagai sudut kota indah di Indonesia. Dengan pemikiran-pemikiran apik yang dengan mudahnya mampu menyatu dengan pemikiranku. Yah,meski saja tetap punya banyak waktu dan perdebatan kecil dalam menyatukan satu tuju.

Ditempat ini banyak sekali mengajarkanku tentang kehidupan yang nyata. Mengajari aku tentang betapa beruntungnya aku ditakdirkan seperti ini didalam kehidupan. Aku terlalu hidup dengan segala kecukupan. Dengan baiknya aku dapat melakukan hariku tanpa kekurangan, tapi tetap saja sering kali aku mengeluh untuk hal-hal yang masih bisa untuk disabarkan. Aku malu pada adik-adik yang tinggal di desa ini, mereka hidup dengan keterbatasan orang tua juga kerasnya kehidupan, seperti kebutuhan air yang harus membeli dahulu, baju seragam yang seadanya, alas kaki yang tak selalu mereka miliki, buku-buku terbatas untuk menunjang citanya, dan dengan semua itu masih saja mereka dengan giat dan gigih melangkahkan kaki menuju sekolah dengan segudang mimpi yang ingin sekali mereka wujudnkan.

Ditempat ini aku juga belajar untuk lebih baik diam dan terus bekerja ketimbang terlalu banyak cerita namun hanya menjadi wacana. Banyak yang bilang, diam adalah tak mau tau. Tapi,aku lebih memilih diam untuk mengamati dan mengambil tindakan terbaik sesuai persepsiku. Sudah dari dulu aku tak suka banyak bicara, apalagi belagak solutif dengan pemikiran yang wah serta menggunakan bahasa tinggi dan terdengar intelek, tapi ya hanya bicara saja. Sedang sepemahamanku masyarakat itu hanya mau hasil bukan pemikiran bertele-tele seperti orang kota. Entah,aku masih saja tak suka dengan seseorang yang tak memanusiakan orang lain. Bagiku, derajat seseorang pastilah sama. Semua orang butuh perlakuan yang baik dan lebih mementingkan kebutuhan bersama bukan egonya saja. Siapapun ia,setinggi apapun derajatnya, berapapun umurnya,dan apa saja alasannya.

Namun, dibalik itu semua hari-hariku begitu menyenangkan disini. Rasanya aku bagai menghilang sejenak dari kotaku yang istimewa. Hanya kedua orang tuaku juga salah satu sahabatku saja yang terus menghubungiku di tempat ini. Tak ada seribu wajah yang sering kali kuceritkan pada kalian. Aku menemukan siapa orang yang rindu dan dengan sabarnya menanti pesanku. Tak ada yang memberondongku dengan tenggat di berbagai lapis media sosial. Aku merasa hidup. 90% waktuku sudah kembali pada sosialisasi secara normal,bukan hanya didepan layar yang dengan anggunnya selalu bersinar dan memunculkan keindahan-keindahan fana, pencitraan abadi.

Aku menyadari satu hal, Tuhan sangat menyayangiku sehingga memberikan aku kesempatan untuk berdiri ditengah mayarakat desa Wee Pangali yang begitu hangat juga orang-orang hebat yang terlalu menginspirasiku. Kebaikannya akan selalu tertanam dalam hatiku. Penerimaan-penerimaan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Juga ingatan-ingatan bahagia yang mereka ciptakan sukses sekali menghapuskan rentetan duka sebelum aku memijakkan kaki di salah satu surga nusantara ini. Aku dan Wee Pangali kini sudah memiliki benang merah yang tak akan pernah putus. Apapun nanti yang terjadi, aku masih ingin kembali kesana, untuk mengenang masa ini. Juga untuk bercengkrama lagi dengan orang-orang yang telah menginspirasiku. Menaruh andil dalam pendewasaan diri. Aku bersyukur dan aku menyayangi orang-orang yang waktu itu mengisi lembar kisahku.

Semoga takdir membawa kita lekas bersua kembali


0