Sabtu
28 April 2018,
Masih terasa haru dan sesak ketika
kami sampai di bandar udara Tambolaka. Ada yang akan kami tinggalkan meski kita
masih berada disini selama dua hari. Namun bagaimanapun semua harus pean-pelan
dilepaskan, melepaskan sedih maksudku. Sebelum keberangkatanku kemari, aku
sudah berjanji kepada beberapa temanku untuk melakukan perjalanan. Menghibur
diri dengan menjajaki indahnya Sumba.
Perjalanan pertama kami yaitu menuju
pantai Mandorak dan danau Weekuri. Kami menuju wilayah tersebut menggunakan
mobil. Jumlah kami cukup banyak, sehingga kami harus menyewa tiga mobil.
Perjalanan menuju pantai tersebut tidak cukup mudah. Kami harus melewati pedalaman.
Aku rasa itu suku pedalaman. Jalan yang kita lalui merupakan jalan sempit setapak
yang disisi kanan kirinya berupa semak semak dan pohon-pohon. Beberapa rumah
adat berdiri kokoh dengan jarak yang cukup jauh antar satu rumah dengan
lainnya. Anak-anak kecil sesekali mengejar mobil kami dan meneriakan”kak minta
uang, kak minta uang” yang lainnya lagi membantu orang tuanya mengambil air
dari sumur dengan jerigen-jerigen, beberapa mama berkumpul dan bercengkrama
diantaranya bahkan hanya mengenakan sarung untuk menutupi bagian bawah
tubuhnya. Sepanjang jalan aku bahkan sering berhalusinasi, sepertinya,seluruh
pohon yang aku lewati seperti memiliki wajah. Sosok lelaki. Aku berusaha tidur
agar tidak melihat kearah keluar jendela. Namun tak lama setelah aku mampu
mengalihkan pikiranku, tiba –tiba kami di berhentikan oleh segerombolan lelaki.
Yah, singkat cerita kami terkena pungli yang mau tak mau harus kita iyakan agar
kami selamat.
Dan perjalanan kami terbayarkan
dengan keindahan pantai Mandorak yang airnya begitu biru. Karangnya cukup tajam
tapi begitu indah, seperti sebuah perumpamaan bahwa yang indah pastilah harus
menyakitkan dahulu. Begitu juga dengan danau Weekuri yang sejatinya merupakan
sebuah Lagoon, biru hijau. Semua terlihat bahagia disini. Beberapa orang-orang
menjajakan kain tenun sumba dan kelapa muda. Oh iya, benar kata orang. Kelapa
muda Sumba begitu menyegarkan. Aku ingin berlama-lama seperti ini, menikmati
sudut lain tanah air dengan damai.
Setelah
itu kami menuju ke desa adat Ratenggaro, indah sekali sebuah desa dipesisir
pantai. Sebuah kisah lucu disini, anak-anak Sumba yang masih sedikit edukasinya
masih diberi pemahaman untuk meminta-minta pada para wisatawan. Dan ada saja akalnya
selain hanya mengajak berkenalan lalu menjual sesuatu dengan paksa atau to the
point dengan meminta uang untuk membeli buku. Siang itu ketika kami berfoto
diatas karang seorang anak kecil menghampiri kami dan berkata pada seorang
kawanku “Kakak, pamali tidak boleh menaiki karang. Karang itu sebenarnya buaya.
Pamali kakak” katanya meyakinkan. Kawanku berkata,”hah, terus bagaimana adik
sudah terlanjur?” katanya was was. “Kakak harus kasih uang kakak, kalau tidak
kalau kakak kemari lagi,barang kakak ada yang hilang”, katanya lagi. Lalu aku
dan kawan-kawanku menahan tawa dan meninggalkan si adik yang terus mengikuti
kami dan meyakinkan salah satu kawanku. Setelah dari Ratenggaro kami
melanjutkan perjalanan menuju Sumba Timur. Di tengah perjalanan kami berhenti
sebentar dikota untuk makan. Dan ketika makan, hal yang paling membuatku sejuk
adalah untuk pertama kalinya aku mendengar suara adzan di Sumba dari masjid
terdekat.
Minggu
29 April 2018,
Kami
tiba di hotel sudah hampir tengah malam setelah lebih dari dua jam perjalanan.
Melalui jalanan gelap,hutan yang katanya banyak perampas hutan, dan jalanan
yang berkelak-kelok dan naik turun. Setelah kami membersihkan diri kami
beistirahat untuk melanjutkan perjalanan menuju bukit Wairinding paginya.
Paginya
kami menuju bukit Wairinding, jalan yang dilalui rupanya sama dengan perjalanan
semalam. Waktu ku amati, jalanan disini seperti jalan yang dibuat setelah
membelah bukit. Struktur tanahnya seperti batuan kapur juga terdapat karang-karang. Jika kita melihat kearah kanan
dan kiri semuanya adalah bukit dan sabana. Indah sekali.
Sesampainya
di bukit Wairinding, dibawah terik matahari kami menaiki jalanan yang menanjak.
Sedikit melelahkan tapi semua terbayar dengan bukit Wairinding yang katanya
bikin merinding. Ternyata tidak hanya katanya, aku merinding dengan ciptaan
Tuhan ini. Sepertinya Tuhan sedang senang saat menciptkan bukit Wairinding.
Angin yang kencang bau rerumputan dan hamparan bukit-bukit indah yang tertata
rapi. Setelah itu kami menuju bukit Persaudaraan yang banyak sekali terdapat
kuda yang sedang merumput. Dari bukit ini kami juga dapat melihat laut dan
disisi lainnya dapat melihat sawah terhampar. Diperjalanan kami juga melewati
bukit Raksasa Tertidur. Betul betul seperti raksasa yang tertidur. Ah,bagus
sekali.
Setelah
menjelajahi bukit-bukit yang indah, kami berencana melanjutkan perjalanan
menuju pantai Walakiri yang sunsetnya begitu indah. Dalam perjalanan kami
mampir dahulu ke suatu rumah tenun, disana aku melihat begitu banyak keindahan
tenun Sumba Timur.Harganya lebih tinggi memang dibandingkan yang dijual di
pasar, hotel, dan tempat wisata. Namun kualitasnya memang tidak diragukan lagi,
kainnya halus, pewarnanya pun juga alami. Yang indah dari tenun Sumba adalah,
setiap tenunan punya cerita,meskipun aku tak hafal bagaimana cerita dari setiap
kain aku selalu mengagumi setiap corak juga warnanya. Seselesainya kami dari
rumah tenun, kami menuju pasar yang tak jauh dari sana.Kami membeli buah tangan
yang mampu kami beli,ikat, kain, sarung, ataupun sisa sisa kopi yang belum
terjual.
Kami melanjutkan perjalanan menuju
pantai Walakiri. Sesampainya disana kami disuguhkan dengan hiruk-pikuk suka
cita wisatawan. Pasir pantai yang putih dan sangat halus, bintang laut yang
berada dimana-mana, juga sisa-sisa cangkang kerang yang ditinggalkan
penghuninya. Disatu sudut tumbuh dengan kokoh tanaman bakau. Aku duduk di
pinggir pantai menanti matahari sedikit tergelincir lagi. Setelah matahari
berada pada tempat yang pas menurutku, aku berjalan menuju pepohonan bakau.
Benar benar, langit Sumba adalah rumah terbaik bagi senja. Indah sekali, syahdu
didalam sanubari. Senja yang emas, jingga, merah muda, indah sekali.
Malam
harinya ketika perjalanan pulang, sial sekali aku bermimpi dihadang oleh lelaki
dengan parang. Memalukan sekali hingga aku dibangunkan oleh temanku karna aku
mengigau. Untuk beberapa menit aku terjaga dan bertekad untuk tidak tertidur
selama melewati hutan yang memang sangat rawan jika dimalam hari. Tapi rupanya kantukku
lebih berat. Entah berapa lama aku tertidur selama perjalanan, tapi aku sempat
bangun ketika Kak Peter,driver kami keluar mobil dan mengecek ban belakang
mobil kami. Dan kemudian terbangun kembali karena kak Peter membanting pintu
mobil untuk menemui driver mobil lainnya dan beberapa penduduk sekitar.
Sayup-sayup aku mendengar “Sa sudah feeling kita diikuti dari tadi dengan motor
itu”, “iya motor itu sudah dibelakang mengikuti kita dari masuk hutan, bawa
parang itu” katanya kemudian dengan dilanjutkan dengan percakapan bahasa daerah
yang kurang aku pahami. Iya aku gemetar terlebih ketika kak Peter kembali ke
dalam mobil dan berkata “Hampir saja tadi kita kena, untung bisa lolos kalau
tidak sudah mati kita” oh Tuhaaaan. Aku merinding sebab jumlah orang,kendaraan
yang ia pakai, dan parang. Semua sama persis seperti apa yang ada didalam mimpiku
dan dengan santainya kami semua yang berada dimobil tertidur dengan pulasnya. Yah,
setidaknya kami bersyukur kami masih selamat.Disisa perjalanan menuju Tambolaka
kami habiskan dengan doa doa agar kami selamat sampai hotel dan mempersiapkan
kepulangan kami esoknya.
Senin
30 April 2018,
Hari
ini adalah kepulangan kami. Pulang yang benar-benar pulang menjumpai rutinitas
yang sedang kita kelabuhi. Salah satu kawanku yang cukup menginspirasiku, yang
sedang berkuliah di institusi ternama di Malang tiba-tiba bercerita kepadaku,
bapa Yoseph disuatu malam bercerita kepada kawan-kawan yang masih menginap di
Wee Pangali, katanya dengan mata yang sembab, “Kemungkinan kita bertemu lagi itu
sudah hampir tidak ada. Kalaupun kalian kemari lagi, belum tentu kita masih
dapat bertemu. Kemungkinannya sangat kecil” Membuatku berpikir kembali menuju
Wee Pangali dan secara tak sadar mengiyakan kata-kata bapa Yoseph.
Semenjak
pesawat lepas landas, aku terus merenung. Sumba, kita benar-benar berpisah hari
ini. Aku sudah berada di Bali pagi tadi, dan sore ini aku harus kembali ke
Yogyakarta. Iya kita benar-benar terpisah antar pulau, samudra membentang luas,
dan juga zona waktu kita sudah berbeda. Aku juga menyadari satu hal, Suatu
keterbatasan rupanya adalah emas yang masih tersimpan rapi, menanti
pemuda-pemuda tangguh dan hebat untuk membukanya, menjadikannya ladang-ladang
gersang menjadi subur menumbuhkan kembali asa yang sekian lama terkubur. Memuliakan
pertiwi menuruskan dan mewujudkan asa. Dan setiap garis waktu bergulir, rupanya
konstelasi akan bertambah, meluas. Mengingat setiap hal dengan benang merah
yang katanya sakral. Dan menyatukan semua itu menjadi gumpalan rindu. Wee
Pangali, Sumba, dan semua yang terkait didalamnya. Nama kalian akan abadi dalam
tulisan ini. Dan juga hatiku.